Selasa

Penampilan Tua Kestoeri Hingga Gaya Akrobatik BMX

OLEH: HERNAWARDI & WURI WIGUNANINGSIH
Mempunyai sepeda dayung di era “tempo doeloe” adalah simbol status sosial kelas menengah. Di awal abad 21, minat masyarakat kota memiliki sepeda bukan lagi sekedar memburu pajangan simbol kemapanan, tetapi interaksi sosial. Sesama penggemar sepeda membentuk klub dengan keunikan yang diusung. Ada sebuah nilai kebersamaan yang kini diretas penggemar sepeda dayung, tanpa membedakan umur, kelas sosial dan latar belakang suku.
Di Mataram, NTB, pada Mei 2006 terbentuk Keroekoenan Sepeda Toea Repoebliken (Kestoeri) yang gemar bersepeda onta atau sepeda tua dengan tampilan unik, kuno dan orisinil. Moto yang diusung ”Kaja Sedjak Doeloe (baca: Kaya Sejak Dulu). Semangat kebersamaan dan solidaritas
antar pemilik sepeda tua inilah yang mengawali
terbentuknya Kestoeri Mataram dengan anggota mencapai 75 orang dari kalangan seniman, birokrat, politisi, polisi, panitera, pejabat lingkup dinas, pedagang, pensiunan, petani dan lainnya.
Winsa, Public Relation Kestoeri Mataram menyatakan,
sebagian besar anggota Kestoeri Mataram merupakan
pengguna sepeda tempo dulu (sepeda onta). ”Terbentuknya klub sepeda tua ini lebih pada kesadaran arti pentingnya menjaga lingkungan bebas polusi, hubungan sosial, dan mempererat hubungan kekeluargaan antar yang memiliki sepeda tua ini melalui media bersepeda ini,” jelas Winsa.
Kestoeri yang diketuai HL Agus Fathurrahman juga terdorong mengumpulkan ceceran nilai-nilai kejuangan dan nilai-nilai sejarah. Dulu sepeda onta selain sebagai alat transportasi juga alat perjuangan.
Setiap Jumat pagi, Kestoeri Mataram berkeliling
kota Mataram, bahkan sampai ke wilayah Lombok Barat
hingga Pelabuhan Lembar. Solidaritas antar sesama pemilik sepeda tua ini terjalin erat. Dalam setiap kegiatan turing bersama, para anggota tanpa sungkan mengajak ngobrol bahkan ngopi bareng jika ada masyarakat yang ditemui menggunakan sepeda tua ini. ”Mereka juga kita ajak jadi anggota Kestoeri tanpa persyaratan yang menyulitkan,” ungkap Winsa.
Memiliki sepeda onta bukan perkara gampang. Mereka berburu sampai pelosok desa se-Pulau Lombok, Sumbawa hingga Jawa. Harganya sangat bervariasi mulai dari Rp 500 ribu hingga Rp 6 juta. Tingginya harga sepeda ini tergantung merk, keaslian dan kelengkapan onderdilnya.
“Kita buru hingga ke pelosok-pelosok terpencil. Karena sepeda ini banyak dimiliki masyarakat kita di pedesaan,” kata Winsa.
Sementara remaja perkotaan yang energik menumbuhkan identitas diri mereka dalam ajang freestyle klub BMX
Bersepeda freestyle dengan teknik tingkat tinggi dan kelincahan tersendiri itulah yang menjadi ciri klub sepeda jenis BMX yang masuk pasar Indonesia era 90-an. Anggotanya rata-rata anak muda yang masih duduk di bangku SMA atau kuliah. Klub BMX marak berdiri di daerah perkotaan, termasuk kota-kota di Jawa Timur.
Mereka menggelar latihan atraksi di lapangan atau taman-taman di kota Surabaya, seperti taman Bungkul. Pembinaan dan pengembangan teknik bersepeda baru dirintis dua tahun terakhir, seperti turnamen bertajuk BMX Freestyle Challenge 2007 di Sidoarjo beberapa waktu lalu.
“Selama ini pecinta sepeda BMX tidak ada wadahnya. Kalau sepeda motor ada motocross, drag race atau road race. Sedangkan untuk sepeda dengan tidak menggunakan energi mesin kan belum ada. Melalui even ini, kita berusaha untuk memulainya. Melakukan pembinaan sekaligus pengkaderan,” kata ketua panitia pelaksana, Amir.
Even di Sidoarjo sudah memasuki putaran ketiga dan diikuti 50 lebih biker. Putaran terakhir akan diselenggarakan di Surabaya bulan Oktober nanti. Even tersebut menjadi ajang tukar informasi oleh para biker. ”Di klub ini kita benar-benar menyatu, tanpa mengenal status sosial, ekonomi maupun pekerjaan. Semua sama dan berlatih bersama. Kita berkumpul dan bersama di tempat ini ya karena sama-sama suka sepeda BMX,” ujar Tomi anggota klub BMX asal Surabaya.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung