SOROT
OLEH: EDY FIRMANSYAH*
Hampir sebagian besar kota di Indonesia tidak dirancang khusus untuk anak-anak. Kota dirancang khusus untuk akumulasi modal, pergerakan kapitalisme global dan peredaran uang terbesar. Tak heran, jika lahan yang ada dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan kapital. Tanah lapang yang dulu jadi arena bermain petak-umpet, betengan, gobak sodor, kelereng, dan layangan kini telah berubah jadi mall, plasa, perkantoran dan lapangan golf.
Perubahan ini bukan peristiwa aneh. Sebab suatu saat kota kecil akan berubah menjadi kota besar ketika bersentuhan dengan perubahan. Namun di tengah geliat pertumbuhan kota, kita perlu bertanya di manakah anak kita akan bermain? Mengapa? Bermain bagi anak-anak merupakan suatu kebutuhan. Dengan bermain mereka mampu mengembangkan semua potensi yang ada dalam dirinya. Dari tempat bermain, anak itu belajar spontanitas, belajar interaksi dan sosialisasi dengan lingkungannya, belajar disiplin dan mengembangkan kepribadiannya secara utuh.
Nah, untuk mewujudkan semua itu, tentu saja diperlukan ruang bermain yang luas, aman dan kondusif. Peace dalam Magical Child (Wilkinson, 1980) mengatakan bahwa ruang bermain merupakan tempat di mana anak-anak tumbuh dan mengembangkan intelegensinya. Di situlah kemudian mereka membuat kontak dan proses dengan lingkungan serta teman sebayanya.
Lanjut Peace lagi, ruang bermain membantu sistem sensor dan proses otak secara keseluruhan. Ruang bermain yang dimaksud Peace mungkin bisa tanah lapang, pekarangan rumah, atau taman bermain khusus yang disediakan oleh negara yang kondusif bagi anak untuk bermain dengan bebas. Kondusif dalam arti aman dan menyenangkan serta jauh dari kebisingan maupun polusi.
Mungkin sebagian orangtua membantah pernyataan Peace tersebut. “Kenapa harus repot-repot mencarikan tanah lapang untuk anak-anak, lha wong berbagai jenis permainan yang bisa dimainkan di rumah sudah banyak disediakan. Playstation misalnya,” begitulah mungkin komentar mereka. Lagipula bermain di luar rumah saat ini sangat tidak aman. Sebab jarang sekali ditemukan tanah lapang yang luas akhir-akhir ini. Toh, jika memaksa bermain dalam suasana kota semacam itu, bisa-bisa angka kecelakaan akan meningkat dengan korban sebagian besar anak-anak. Boleh jadi pernyataan itu benar adanya. Lihat saja ketika musim layangan tiba, anak-anak kita justru bermain layang di pinggir jalan raya. Tanpa peduli resiko yang bakal terjadi jika jalan sedang ramai.
Akhirnya pilihan orang tua jatuh pada arena bermain baru, video game, computer game, board game dan playstation untuk memenuhi kebutuhan anak akan permainan. Bahkan, orangtua menganggap permainan tersebut sebagai penguji ketangkasan yang dapat melatih potensi rohani anak untuk menyelesaikan masalah yang rumit. “Daripada main layangan atau kejar-kejaran di jalan,” demikian mungkin pernyataan mereka terhadap kegemaran anak-anak akan video game, computer game dan playstation yang kini sedang marak.
Padahal di balik permainan di atas, ada sisi negatif yang sedang mengancam tumbuh kembang anak-anak. Menurut Remy Silado, beberapa piringan video yang biasa dimainkan anak-anak di playstation malah memicu imitasi dan khayal anak untuk menjadi semacam jagoan dengan kekuatan ajaib dan super yang dapat menghancurkan lawan-lawan dalam rangka menyelesaikan tugas-tugas yang disebut misi kemanusiaan. Jika kita memperhatikan dengan seksama, sebagian besar isi permainan itu semata-mata kekerasan belaka.
Jangan heran ketika anak-anak itu tumbuh remaja mereka menjadi generasi muda yang labil dan kerap melakukan tindak kekerasan dan pengrusakan pada dirinya sendiri dan orang lain seperti menjadi alkoholik, pecandu narkoba dan gemar melakukan tawuran. Mereka lebih senang menjadi warga kelas imitasi dari seorang tokoh ksatria yang merupakan hasil rekayasa kapitalis, ketimbang mencari dan menemukan jati dirinya sendiri serta menerima takdir sebagai karunia ilahi. Gambaran yang tidak nyata dalam video game dan playstation diterima sebagai kebenaran. Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut, maka bakal suram masa depan anak-anak bangsa ini.
Nah, siapa yang bertanggung jawab terhadap dampak tersebut? Secara, struktural negara (baca: pemkot/pemkab) bisa disalahkan sebagai penyebab buruknya kondisi anak-anak di negeri ini. Karena negara sebagai pemegang kekuasaan membuat kebijakan yang sering tak berpihak pada masyarakat bawah, terutama anak-anak.
Sebab pemerintah masih belum memberikan tempat bermain yang layak dan dapat diakses seluruh anak-anak, baik dari anak-anak kelas atas maupun kelas bawah. Memang pemerintah telah membuat taman bermain. Hanya saja tidak sebanding dengan jumlah anak yang berada di sebuah kota. Lagipula kebanyakan taman hanya bisa diakses anak kelas atas, karena harus membayar retribusi yang lumayan mahal.
Bagiamana dengan daerah? Daerah tidak separah kota. Di daerah tanah lapang masih luas, dan taman bermain sudah ada yang dibangun dan mulai dimanfaatkan secara gratis. Sehingga anak-anak bisa bermain dengan puas. Pertanyaannya, mampukah pemda mempertahankannya ketika tuntutan kapital memintanya menjadi plaza atau mall? Tak ada yang menjamin. Kecuali pemerintah benar-benar punya komitmen mengembangkan potensi anak bangsa melalui arena bermain. Dan, kita orangtua tidak merangkap sebagai eksekutor bagi anak-anak kita sendiri dalam menentukan permainan.
*) Pengelola Sanggar Bermain Kata (SBK), Pamekasan, Madura.
OLEH: EDY FIRMANSYAH*
Hampir sebagian besar kota di Indonesia tidak dirancang khusus untuk anak-anak. Kota dirancang khusus untuk akumulasi modal, pergerakan kapitalisme global dan peredaran uang terbesar. Tak heran, jika lahan yang ada dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan kapital. Tanah lapang yang dulu jadi arena bermain petak-umpet, betengan, gobak sodor, kelereng, dan layangan kini telah berubah jadi mall, plasa, perkantoran dan lapangan golf.
Perubahan ini bukan peristiwa aneh. Sebab suatu saat kota kecil akan berubah menjadi kota besar ketika bersentuhan dengan perubahan. Namun di tengah geliat pertumbuhan kota, kita perlu bertanya di manakah anak kita akan bermain? Mengapa? Bermain bagi anak-anak merupakan suatu kebutuhan. Dengan bermain mereka mampu mengembangkan semua potensi yang ada dalam dirinya. Dari tempat bermain, anak itu belajar spontanitas, belajar interaksi dan sosialisasi dengan lingkungannya, belajar disiplin dan mengembangkan kepribadiannya secara utuh.
Nah, untuk mewujudkan semua itu, tentu saja diperlukan ruang bermain yang luas, aman dan kondusif. Peace dalam Magical Child (Wilkinson, 1980) mengatakan bahwa ruang bermain merupakan tempat di mana anak-anak tumbuh dan mengembangkan intelegensinya. Di situlah kemudian mereka membuat kontak dan proses dengan lingkungan serta teman sebayanya.
Lanjut Peace lagi, ruang bermain membantu sistem sensor dan proses otak secara keseluruhan. Ruang bermain yang dimaksud Peace mungkin bisa tanah lapang, pekarangan rumah, atau taman bermain khusus yang disediakan oleh negara yang kondusif bagi anak untuk bermain dengan bebas. Kondusif dalam arti aman dan menyenangkan serta jauh dari kebisingan maupun polusi.
Mungkin sebagian orangtua membantah pernyataan Peace tersebut. “Kenapa harus repot-repot mencarikan tanah lapang untuk anak-anak, lha wong berbagai jenis permainan yang bisa dimainkan di rumah sudah banyak disediakan. Playstation misalnya,” begitulah mungkin komentar mereka. Lagipula bermain di luar rumah saat ini sangat tidak aman. Sebab jarang sekali ditemukan tanah lapang yang luas akhir-akhir ini. Toh, jika memaksa bermain dalam suasana kota semacam itu, bisa-bisa angka kecelakaan akan meningkat dengan korban sebagian besar anak-anak. Boleh jadi pernyataan itu benar adanya. Lihat saja ketika musim layangan tiba, anak-anak kita justru bermain layang di pinggir jalan raya. Tanpa peduli resiko yang bakal terjadi jika jalan sedang ramai.
Akhirnya pilihan orang tua jatuh pada arena bermain baru, video game, computer game, board game dan playstation untuk memenuhi kebutuhan anak akan permainan. Bahkan, orangtua menganggap permainan tersebut sebagai penguji ketangkasan yang dapat melatih potensi rohani anak untuk menyelesaikan masalah yang rumit. “Daripada main layangan atau kejar-kejaran di jalan,” demikian mungkin pernyataan mereka terhadap kegemaran anak-anak akan video game, computer game dan playstation yang kini sedang marak.
Padahal di balik permainan di atas, ada sisi negatif yang sedang mengancam tumbuh kembang anak-anak. Menurut Remy Silado, beberapa piringan video yang biasa dimainkan anak-anak di playstation malah memicu imitasi dan khayal anak untuk menjadi semacam jagoan dengan kekuatan ajaib dan super yang dapat menghancurkan lawan-lawan dalam rangka menyelesaikan tugas-tugas yang disebut misi kemanusiaan. Jika kita memperhatikan dengan seksama, sebagian besar isi permainan itu semata-mata kekerasan belaka.
Jangan heran ketika anak-anak itu tumbuh remaja mereka menjadi generasi muda yang labil dan kerap melakukan tindak kekerasan dan pengrusakan pada dirinya sendiri dan orang lain seperti menjadi alkoholik, pecandu narkoba dan gemar melakukan tawuran. Mereka lebih senang menjadi warga kelas imitasi dari seorang tokoh ksatria yang merupakan hasil rekayasa kapitalis, ketimbang mencari dan menemukan jati dirinya sendiri serta menerima takdir sebagai karunia ilahi. Gambaran yang tidak nyata dalam video game dan playstation diterima sebagai kebenaran. Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut, maka bakal suram masa depan anak-anak bangsa ini.
Nah, siapa yang bertanggung jawab terhadap dampak tersebut? Secara, struktural negara (baca: pemkot/pemkab) bisa disalahkan sebagai penyebab buruknya kondisi anak-anak di negeri ini. Karena negara sebagai pemegang kekuasaan membuat kebijakan yang sering tak berpihak pada masyarakat bawah, terutama anak-anak.
Sebab pemerintah masih belum memberikan tempat bermain yang layak dan dapat diakses seluruh anak-anak, baik dari anak-anak kelas atas maupun kelas bawah. Memang pemerintah telah membuat taman bermain. Hanya saja tidak sebanding dengan jumlah anak yang berada di sebuah kota. Lagipula kebanyakan taman hanya bisa diakses anak kelas atas, karena harus membayar retribusi yang lumayan mahal.
Bagiamana dengan daerah? Daerah tidak separah kota. Di daerah tanah lapang masih luas, dan taman bermain sudah ada yang dibangun dan mulai dimanfaatkan secara gratis. Sehingga anak-anak bisa bermain dengan puas. Pertanyaannya, mampukah pemda mempertahankannya ketika tuntutan kapital memintanya menjadi plaza atau mall? Tak ada yang menjamin. Kecuali pemerintah benar-benar punya komitmen mengembangkan potensi anak bangsa melalui arena bermain. Dan, kita orangtua tidak merangkap sebagai eksekutor bagi anak-anak kita sendiri dalam menentukan permainan.
*) Pengelola Sanggar Bermain Kata (SBK), Pamekasan, Madura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar