SOROT
Oleh: TAUFIQ SHOLEH*
Kabupaten Jember, di bawah kepemimpinan Bupati MZA Djalal, selama bulan Agustus mengemas even BBJ (Bulan Berkunjung ke Jember). Minggu, 5 Agustus lalu, Jember Fashion Carnaval (JFC) 2007 sukses digelar . Dalam festival itu, setiap kabupaten/kota peserta diberikan kesempatan menampilkan jenis kesenian sebagai identitas daerahnya masing-masing. JFC telah Go International. Pertanyaannya, dalam konteks kebudayaan, apa yang dapat diharapkan dari even-even budaya, seperti JFC, bagi masyarakat Jember khususnya dan Indonesia pada umumnya?
Secara sosio-historis, nama Jember dan kapan wilayah ini diakui keberadaannya, hingga saat ini memang masih belum diperoleh kepastian. Satu-satunya peninggalan Kolonial Belanda yang dijadikan rujukan adalah Staatsblad nomor 322 tertanggal 9 Agustus 1928 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1929. Dalam Staatsblad 322 tersebut, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan ketentuan tentang penataan kembali pemerintahan desentralisasi yang meliputi seluruh Wilayah Propinsi Jawa Timur, yang antara lain juga tentang diakuinya Regenschap Djember sebagai kelompok masyarakat yang memiliki kesatuan hukum yang telah berdiri sendiri.
Berbeda dengan beberapa daerah lain yang memiliki akar historis budaya tertentu dan relatif cukup jelas, masyarakat Jember secara umum tidak demikian. Meski terkesan sangat dikotomis, memetakan wilayah selatan sebagai masyarakat dengan mayoritas berlatarbelakang etnis Jawa dan wilayah utara sebagai masyarakat dengan mayoritas suku Madura, paling tidak kita bisa melihat dan memahami peta kebudayaan Jember yang sebenarnya.
Seiring dengan ekspansi kolonial Belanda ke Indonesia, beberapa wilayah di Jember juga dijadikan sentra pembukaan lahan-lahan perkebunan baru untuk wilayah Tapal Kuda. Saat itu, Jember masih mejadi wilayah Blambangan (sekarang Banyuwangi). Untuk kepentingan itu, Belanda kemudian mendatangkan tenaga-tenaga kerja seperti dari Blitar, Tulungagung, Tuban, Madiun dan Madura untuk ditempatkan di waliyah-wilayah perkebunannya. Para buruh perkebunan ini akhirnya menyebar ke sejumlah perkebunan-perkebunan milik Belanda yang ada di Jember. Sampai akhirnya mereka menjadi satu komunitas masyarakat (social community) dan mendiami Jember hingga hari ini.
Sebagai sebuah kabupaten, dengan peta kebudayaan seperti di atas, nampaknya even-even budaya harus mampu menunjukkan keberagaman identitas suku. Sayang bila proyek pencarian, atau bahkan penciptaan identitas kesenian lokal terus dilakukan tanpa melihat relevansi dan manfaatnya.
Mengingkari Semangat Lokalitasnya?
JFC memang beda. Ia lahir dari tangan kreatif seorang Dyanand Fariz. Awal-awal kemunculannya, enam tahun silam, JFC tidak pernah diperhitungkan bahkan dilecehkan oleh masyarakat Jember, apalagi Pemkab Jember saat itu. Sekarang, JFC telah menjadi ikon Jember. Ke depan, masyarakat Jember, Indonesia bahkan masyarakat Internasional akan merindukan karya dan aksi-aksi mereka di atas catwalk sepanjang 3,6 kilometer dan mungkin menjadi catwalk terpanjang di dunia. JFC telah menjadi agenda rutin bagi Jember (pemkab) setiap tahun. Bila JFC dianggap sebagai sebuah produk kreatif ke-budaya-an, atau setidak-tidaknya sebagai satu kumpulan anak-anak muda Jember yang berkreasi di bidang seni dan budaya, cukupkah ia menjelaskan peta pluralitas seni dan budaya Jember yang beragam itu?
Dalam diskursus kebudayaan, menjelaskan makna sebuah produk budaya dihubungkan dengan karakter budaya masyarakat di mana produk budaya itu muncul cukup lama diperbincangkan dan tetap menjadi tema menarik. Arnold menyebut kebudayaan sebagai hal terbaik yang pernah dipikirkan dan dikatakan di dunia ini. Sehingga kebudayaan akan juga menyangkut eksotisme, etnisitas, ras, dan bahkan agama. (K. Bertens:2002) Definisi lain dimunculkan oleh Raymond Williams. Ia menyatakan, kebudayaan, yang di dalamnya juga termasuk ke-seni-an, selalu memiliki dua aspek. Pertama, ia memiliki makna dan tujuan yang diketahui. Anggotanya terlatih untuk itu. Pengamatan dan makna baru yang ditawarkan kemudian dites. Semua itu merupakan proses biasa masyarakat manusia dan pikiran manusia. Karena itu kebudayaan selalu bersifat tradisional dan kreatif. Keduanya merupakan makna paling umum dan makna individual yang paling halus. (K Bertens:2002)
Pada masa Orba, negara seakan-akan tampil sebagai pembela dan pelindung kebudayaan -kesenian- atas nama “Melestarikan Khasanah Kebudayaan Bangsa”. Padahal negara telah membajaknya demi melanggengkan kekuasaannya. Celakanya, kebudayaan –kesenian- (dengan segenap masyarakat yang terlibat di dalamnya) seolah tunduk, patuh dan nyaris tapa perlawanan, karena mereka menganggap negara telah menyelamatkan eksistensi dirinya. Akhirnya, kebudayaan –kesenian- harus didisiplinkan, didefinisikan untuk kemudian dipasarkan dalam paket-paket pariwisata.
Pertanyaan lainnya, bagaimana bahasa seni dan budaya itu digunakan dan untuk tujuan apa? Jika JFC dianggap sebagai sebuah aktivitas kebudayaan, bagaimana ia digunakan dan untuk tujuan apa sebenarnya ia dimunculkan? Haruskah kita, pemerintah, menjadikan JFC sebagai ikon kebanggaan daerah kalau faktanya ternyata secara sosio-kultural tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Sebagai catatan, di Jember ada sekitar 450 kelompok kesenian tradisi --kelompok masyarakat yang berkreasi dalam bidang seni dan budaya-- nasibnya justru amat memprihatinkan seperti Ludruk, Janger, Jaranan, hadrah, Reog, Macapatan, Barongsai (Data versi Diknas Jember tahun 2003). Meski tanpa uluran tangan orang lain, secara istiqomah para seniman tradisi ini tetap berada pada ruang berkesenian yang terkadang jauh dari hangar-bingar kepalsuan materi dan popularitas. Dari fakta ini, kurang adil rasanya bila kita, pemerintah (Pemkab Jember) tidak juga mengapresiasi apa yang para seniman-seniman tradisi lakukan selama ini. Paling tidak mereka juga diberikan ruang, kesempatan, dan perhatian, sebagaimana JFC juga mendapatkannya, untuk sekedar mengekspresikan apa yang telah mereka kreasikan dalam wujud kesenian tradisi itu.
*) Anggota RIAK (Riset dan Advokasi Kebudayaan) Jember.
Oleh: TAUFIQ SHOLEH*
Kabupaten Jember, di bawah kepemimpinan Bupati MZA Djalal, selama bulan Agustus mengemas even BBJ (Bulan Berkunjung ke Jember). Minggu, 5 Agustus lalu, Jember Fashion Carnaval (JFC) 2007 sukses digelar . Dalam festival itu, setiap kabupaten/kota peserta diberikan kesempatan menampilkan jenis kesenian sebagai identitas daerahnya masing-masing. JFC telah Go International. Pertanyaannya, dalam konteks kebudayaan, apa yang dapat diharapkan dari even-even budaya, seperti JFC, bagi masyarakat Jember khususnya dan Indonesia pada umumnya?
Secara sosio-historis, nama Jember dan kapan wilayah ini diakui keberadaannya, hingga saat ini memang masih belum diperoleh kepastian. Satu-satunya peninggalan Kolonial Belanda yang dijadikan rujukan adalah Staatsblad nomor 322 tertanggal 9 Agustus 1928 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1929. Dalam Staatsblad 322 tersebut, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan ketentuan tentang penataan kembali pemerintahan desentralisasi yang meliputi seluruh Wilayah Propinsi Jawa Timur, yang antara lain juga tentang diakuinya Regenschap Djember sebagai kelompok masyarakat yang memiliki kesatuan hukum yang telah berdiri sendiri.
Berbeda dengan beberapa daerah lain yang memiliki akar historis budaya tertentu dan relatif cukup jelas, masyarakat Jember secara umum tidak demikian. Meski terkesan sangat dikotomis, memetakan wilayah selatan sebagai masyarakat dengan mayoritas berlatarbelakang etnis Jawa dan wilayah utara sebagai masyarakat dengan mayoritas suku Madura, paling tidak kita bisa melihat dan memahami peta kebudayaan Jember yang sebenarnya.
Seiring dengan ekspansi kolonial Belanda ke Indonesia, beberapa wilayah di Jember juga dijadikan sentra pembukaan lahan-lahan perkebunan baru untuk wilayah Tapal Kuda. Saat itu, Jember masih mejadi wilayah Blambangan (sekarang Banyuwangi). Untuk kepentingan itu, Belanda kemudian mendatangkan tenaga-tenaga kerja seperti dari Blitar, Tulungagung, Tuban, Madiun dan Madura untuk ditempatkan di waliyah-wilayah perkebunannya. Para buruh perkebunan ini akhirnya menyebar ke sejumlah perkebunan-perkebunan milik Belanda yang ada di Jember. Sampai akhirnya mereka menjadi satu komunitas masyarakat (social community) dan mendiami Jember hingga hari ini.
Sebagai sebuah kabupaten, dengan peta kebudayaan seperti di atas, nampaknya even-even budaya harus mampu menunjukkan keberagaman identitas suku. Sayang bila proyek pencarian, atau bahkan penciptaan identitas kesenian lokal terus dilakukan tanpa melihat relevansi dan manfaatnya.
Mengingkari Semangat Lokalitasnya?
JFC memang beda. Ia lahir dari tangan kreatif seorang Dyanand Fariz. Awal-awal kemunculannya, enam tahun silam, JFC tidak pernah diperhitungkan bahkan dilecehkan oleh masyarakat Jember, apalagi Pemkab Jember saat itu. Sekarang, JFC telah menjadi ikon Jember. Ke depan, masyarakat Jember, Indonesia bahkan masyarakat Internasional akan merindukan karya dan aksi-aksi mereka di atas catwalk sepanjang 3,6 kilometer dan mungkin menjadi catwalk terpanjang di dunia. JFC telah menjadi agenda rutin bagi Jember (pemkab) setiap tahun. Bila JFC dianggap sebagai sebuah produk kreatif ke-budaya-an, atau setidak-tidaknya sebagai satu kumpulan anak-anak muda Jember yang berkreasi di bidang seni dan budaya, cukupkah ia menjelaskan peta pluralitas seni dan budaya Jember yang beragam itu?
Dalam diskursus kebudayaan, menjelaskan makna sebuah produk budaya dihubungkan dengan karakter budaya masyarakat di mana produk budaya itu muncul cukup lama diperbincangkan dan tetap menjadi tema menarik. Arnold menyebut kebudayaan sebagai hal terbaik yang pernah dipikirkan dan dikatakan di dunia ini. Sehingga kebudayaan akan juga menyangkut eksotisme, etnisitas, ras, dan bahkan agama. (K. Bertens:2002) Definisi lain dimunculkan oleh Raymond Williams. Ia menyatakan, kebudayaan, yang di dalamnya juga termasuk ke-seni-an, selalu memiliki dua aspek. Pertama, ia memiliki makna dan tujuan yang diketahui. Anggotanya terlatih untuk itu. Pengamatan dan makna baru yang ditawarkan kemudian dites. Semua itu merupakan proses biasa masyarakat manusia dan pikiran manusia. Karena itu kebudayaan selalu bersifat tradisional dan kreatif. Keduanya merupakan makna paling umum dan makna individual yang paling halus. (K Bertens:2002)
Pada masa Orba, negara seakan-akan tampil sebagai pembela dan pelindung kebudayaan -kesenian- atas nama “Melestarikan Khasanah Kebudayaan Bangsa”. Padahal negara telah membajaknya demi melanggengkan kekuasaannya. Celakanya, kebudayaan –kesenian- (dengan segenap masyarakat yang terlibat di dalamnya) seolah tunduk, patuh dan nyaris tapa perlawanan, karena mereka menganggap negara telah menyelamatkan eksistensi dirinya. Akhirnya, kebudayaan –kesenian- harus didisiplinkan, didefinisikan untuk kemudian dipasarkan dalam paket-paket pariwisata.
Pertanyaan lainnya, bagaimana bahasa seni dan budaya itu digunakan dan untuk tujuan apa? Jika JFC dianggap sebagai sebuah aktivitas kebudayaan, bagaimana ia digunakan dan untuk tujuan apa sebenarnya ia dimunculkan? Haruskah kita, pemerintah, menjadikan JFC sebagai ikon kebanggaan daerah kalau faktanya ternyata secara sosio-kultural tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Sebagai catatan, di Jember ada sekitar 450 kelompok kesenian tradisi --kelompok masyarakat yang berkreasi dalam bidang seni dan budaya-- nasibnya justru amat memprihatinkan seperti Ludruk, Janger, Jaranan, hadrah, Reog, Macapatan, Barongsai (Data versi Diknas Jember tahun 2003). Meski tanpa uluran tangan orang lain, secara istiqomah para seniman tradisi ini tetap berada pada ruang berkesenian yang terkadang jauh dari hangar-bingar kepalsuan materi dan popularitas. Dari fakta ini, kurang adil rasanya bila kita, pemerintah (Pemkab Jember) tidak juga mengapresiasi apa yang para seniman-seniman tradisi lakukan selama ini. Paling tidak mereka juga diberikan ruang, kesempatan, dan perhatian, sebagaimana JFC juga mendapatkannya, untuk sekedar mengekspresikan apa yang telah mereka kreasikan dalam wujud kesenian tradisi itu.
*) Anggota RIAK (Riset dan Advokasi Kebudayaan) Jember.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar