OLEH: DIDIK PURWANTO
Isu pemanasan global sudah melanda berbagai negara di dunia. Sejumlah akademisi dan peneliti berupaya menanggulangi dan minimal mengurangi dampak isu tersebut. Begitu juga dengan Ketut Gede Dharma Putra,MSc, akademisi dari FMIPA jurusan Kimia Universitas Udayana melontarkan wacana strategi rekayasa budaya dalam mengatasi dampak perubahan iklim terhadap keberlanjutan kehidupan. Dalam penelitiannya, Bali sudah mengalami ancaman pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Hal tersebut tampak dalam pembangunan yang tidak terkendali, khususnya di kawasan pariwisata, apalagi pemerintah lemah mengawasi pelanggaran tata ruang wilayah. Begitu juga dengan pengurangan lapangan kerja di pedesaan akibat perubahan masyarakat agraris ke jasa, terlebih lagi persediaan material berbasis sumber daya alam untuk pembangunan makin terbatas dan potensi konflik antar berbagai sektor makin meningkat.
Mengadopsi UU No 23 Tahun 1997 tentang pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan hidup dan keterlibatan masyarakat serta keterbukaan informasi, masyarakat sudah selayaknya mengimplementasikan strategi rekayasa budaya dengan program penyelamatan lingkungan hidup berbasis kesadaran pribadi. ”Masyarakat dituntut untuk menggali nilai-nilai kearifan lokal dalam menemukan jati dirinya dengan menerapkan 3R (Reduce, Reuse dan Recycling) dalam aktivitas kesehariannya,” ungkapnya.
Dalam tataran reduce, masyarakat harus mengurangi pemakaian energi yang tidak perlu. Arsitektur rumah Bali tidak menyarankan pemakaian AC, cukup memberikan ventilasi dan menutup dengan kasa agar nyamuk, lalat dan serangga tidak dapat masuk serta tidak perlu memakai obat nyamuk. Begitu pula kebijakan transportasi publik yang nyaman, murah serta ramah lingkungan, apalagi kalau mau jalan kaki. Dalam hal reuse, biasakan menjaga peralatan dan benda-benda agar bisa dimanfaatkan generasi selanjutnya. Untuk masyarakat Bali, kini saatnya memikirkan sarana upacara yang bisa dipakai lagi. Pola recycling, perlu pemanfaatan limbah dan sampah untuk kesuburan tanah serta menggunakan teknologi tepat guna untuk pengolahan sampah plastik. “Anda tidak akan bisa menyelesaikan masalah global jika Anda belum bisa menyelesaikan masalah di sekitarnya dimulai dengan hal kecil dan dari diri sendiri,” pesannya.
Terkait penyelenggaraan konferensi PBB mengenai perubahan iklim di Nusa Dua, Bali (3/12-14/12), posisi Indonesia yang diwakili oleh Menteri Lingkungan Hidup, ESDM dan Menteri Kehutanan berkomitmen untuk melaksanakan program adaptasi perubahan iklim, menekan laju kerusakan hutan tropis (reducing emission from deforestation in developing country/REDD), transfer teknologi dan keberlanjutan pelaksanaan climate development management/CDM). “Saya juga akan memperjuangkan regulasi tentang emisi kendaraan bermotor, pembatasan kendaraan bermotor, pengaturan limbah, alih fungsi lahan dan penanaman pohon agar menjadi peraturan daerah,” tegas Ir Sudirman, Kepala Pusat Pengembangan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali.
Isu pemanasan global sudah melanda berbagai negara di dunia. Sejumlah akademisi dan peneliti berupaya menanggulangi dan minimal mengurangi dampak isu tersebut. Begitu juga dengan Ketut Gede Dharma Putra,MSc, akademisi dari FMIPA jurusan Kimia Universitas Udayana melontarkan wacana strategi rekayasa budaya dalam mengatasi dampak perubahan iklim terhadap keberlanjutan kehidupan. Dalam penelitiannya, Bali sudah mengalami ancaman pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Hal tersebut tampak dalam pembangunan yang tidak terkendali, khususnya di kawasan pariwisata, apalagi pemerintah lemah mengawasi pelanggaran tata ruang wilayah. Begitu juga dengan pengurangan lapangan kerja di pedesaan akibat perubahan masyarakat agraris ke jasa, terlebih lagi persediaan material berbasis sumber daya alam untuk pembangunan makin terbatas dan potensi konflik antar berbagai sektor makin meningkat.
Mengadopsi UU No 23 Tahun 1997 tentang pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan hidup dan keterlibatan masyarakat serta keterbukaan informasi, masyarakat sudah selayaknya mengimplementasikan strategi rekayasa budaya dengan program penyelamatan lingkungan hidup berbasis kesadaran pribadi. ”Masyarakat dituntut untuk menggali nilai-nilai kearifan lokal dalam menemukan jati dirinya dengan menerapkan 3R (Reduce, Reuse dan Recycling) dalam aktivitas kesehariannya,” ungkapnya.
Dalam tataran reduce, masyarakat harus mengurangi pemakaian energi yang tidak perlu. Arsitektur rumah Bali tidak menyarankan pemakaian AC, cukup memberikan ventilasi dan menutup dengan kasa agar nyamuk, lalat dan serangga tidak dapat masuk serta tidak perlu memakai obat nyamuk. Begitu pula kebijakan transportasi publik yang nyaman, murah serta ramah lingkungan, apalagi kalau mau jalan kaki. Dalam hal reuse, biasakan menjaga peralatan dan benda-benda agar bisa dimanfaatkan generasi selanjutnya. Untuk masyarakat Bali, kini saatnya memikirkan sarana upacara yang bisa dipakai lagi. Pola recycling, perlu pemanfaatan limbah dan sampah untuk kesuburan tanah serta menggunakan teknologi tepat guna untuk pengolahan sampah plastik. “Anda tidak akan bisa menyelesaikan masalah global jika Anda belum bisa menyelesaikan masalah di sekitarnya dimulai dengan hal kecil dan dari diri sendiri,” pesannya.
Terkait penyelenggaraan konferensi PBB mengenai perubahan iklim di Nusa Dua, Bali (3/12-14/12), posisi Indonesia yang diwakili oleh Menteri Lingkungan Hidup, ESDM dan Menteri Kehutanan berkomitmen untuk melaksanakan program adaptasi perubahan iklim, menekan laju kerusakan hutan tropis (reducing emission from deforestation in developing country/REDD), transfer teknologi dan keberlanjutan pelaksanaan climate development management/CDM). “Saya juga akan memperjuangkan regulasi tentang emisi kendaraan bermotor, pembatasan kendaraan bermotor, pengaturan limbah, alih fungsi lahan dan penanaman pohon agar menjadi peraturan daerah,” tegas Ir Sudirman, Kepala Pusat Pengembangan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar