WACANA
Oleh: Trin Utami Mahera*
Kasus kematian Ana Suryaningsih di Yogyakarta karena mengonsumsi obat tradisional ala pabrik untuk pelangsing tubuh yang diduga mengandung Sianida (zat kimia yang mematikan) menjadi pelajaran bagi masyarakat luas. Lahir pertanyaan, benarkah untuk sehat itu harus dengan cara instan?
Dulu, masyarakat tradisional dan rural dalam menjaga kesehatannya hanya perlu ‘bertapa’ dan ‘bersetubuh dengan alam’. Para orang tua yang lahir pada era 50/60-an sering berceritera bahwa pada masa kanak-kanak, makanan mereka sehari-hari tidak banyak dan muluk-muluk. Mereka hanya makan ketela, singkong rebus dan jagung yang diurap. Kadang mereka menjalani puasa ‘mutih’. Sesekali mereka minum jamu tradisional yang bahannya langsung dari alam. Kalau ingin memproduksi jamu temu lawak, mereka tinggal metik daunnya di belakang rumah.
Selain itu, tubuh mereka terbiasa bersentuhan langsung dengan alam. Pergi ke pasar atau sekolah yang jaraknya 5-10 km, mereka sudah terbiasa berjalan kaki. Tanya saja, kepada kakek-nenek kita yang masih ada, tentang bagaimana mereka dulu mengunjungi sanak keluarga yang jauh dari tempat tinggalnya. Pasti jawabannya hanya menggunakan ‘sikil’ (baca:jalan kaki). Meskipun ada yang menggunakan alat transportasi, paling-paling cuma sepeda dayung.
Rudolf Mrazek dalam buku ‘Engineers of Happy Land’ (2006) menulis bahwa dulu penjajah Belanda mensurvei daerah yang akan dibangun rel kereta api dan jalan raya di Indonesia, hanya dengan berjalan kaki dengan para buruhnya dari Jawa. Mereka berjalan kaki berpuluh-puluh hari lamanya. Luar biasa…! Hebat bukan?
Kini romantisme dan kebahagiaan hidup alami masyarakat tempo doeloe tidak ditemukan lagi di era modern ini, terutama di daerah perkotaan yang sudah bergumul dengan system kapitalis, kemajuan teknik dan roda industri. Masyarakat kita saat ini sudah ketagihan makanan siap saji (fast food), minuman suplemen, kapsul pelangsing tubuh, kosmetik kecantikan termasuk juga obat tradisional yang dicampur dengan bahan kimiawi. Nasi, jagung, ketela pohon dan makanan alamiah lainnya yang dulunya banyak dikonsumsi dan tak diragukan kandungan gizinya, sedikit demi sedikit ditinggalkan. Anak-anak kita sudah menggantinya dengan pizza, burger ala Mcdonald, ayam dan kentang goreng KFC, hot dog, dengan minuman tambahan berbentuk soft drink dan penambah tenaga yang notabene dalam iklannya berefek pada peningkatan kesehatan. Padahal, untuk mengonsumsinya saja, masyarakat harus membayar mahal berbagai produk ini. Padahal kandungan gizi yang ada di dalamnya sudah tak alamiah lagi.
Dalam hal gaya, dan gaya pikir pun mengalami perubahan yang drastis. Mereka yang tak menggunakan celana Levi’s, baju Crocodai, jam tangan Casio, sandal dan sepatu Pakololo, atau busana dan alas kaki produk impor lainnya akan dianggap ‘wong ndeso’ (meminjam bahasanya Thukul Arnawa). Dan, cenderung menjadi bahan sindiran, ledekan dan diacuhkan dalam kelompok sebayanya. Itulah sebabnya, mengapa pasar tradisional kian terjepit oleh kehadiran mal-mal dan pusat-pusat perbelanjaan lainnya..
Yang tak kalah problematisnya adalah masalah kinerja tubuh masyarakat modern. Jalan raya padat oleh antrean kendaraan bermotor yang berlalu-lalang. Belum lagi dibarengi sembulan asap knalpot dan suara deru mesin yang memekakkan telinga. Ironis lagi, untuk mengunjungi rumah teman yang berada 100 meter dari tempat tinggalnya saja mereka menggunakan motor. Sebuah tanda bahwa masyarakat sekarang malas menggunakan kerja ototnya secara berlebihan. Kalau otot-otot tubuh sudah jarang dipergunakan dengan maksimal, dan cara-cara instan lebih diunggulkan dalam kehidupan, bagaimana mungkin masyarakat bisa sehat?
Memang, efek perubahan gaya hidup itu tak dapat dirasakan secara langsung. Sebab, masa inkubasinya sangatlah lama, bisa 5, 10 atau 20 tahun. Tapi, begitu masa inkubasinya tiba, maka ajal pun menjadi taruhannya. Minimal, dapat mengakibatkan cacat fisik seperti kena stroke, ginjal, kanker, kolesterol, atau stress. Inilah yang dilupakan banyak orang. Apakah kita akan terus-menerus mengonsumi berbagai produk dan gaya hidup modern-kapitalistik yang bisa mendatangkan malapetaka ataukah justru sebaliknya? Manakah yang akan kita pilih; memenuhi kebutuhan hidup melalui produk modern-kapitalistik yang hanya menawarkan kesehatan di permukaan tapi penyakit kronis, ataukah kembali kepada gaya hidup alami? Jawabnya, terserah Anda. Tapi, yang jelas jawaban Anda itu akan menentukan kesehatan dan kebahagiaan hidup di masa depan. Selamat menjawab pertanyaan di atas!
*) Alumnus Sosiologi Unej, kini mengajar sosiologi di SMAN 1 Pamekasan, Madura.
Oleh: Trin Utami Mahera*
Kasus kematian Ana Suryaningsih di Yogyakarta karena mengonsumsi obat tradisional ala pabrik untuk pelangsing tubuh yang diduga mengandung Sianida (zat kimia yang mematikan) menjadi pelajaran bagi masyarakat luas. Lahir pertanyaan, benarkah untuk sehat itu harus dengan cara instan?
Dulu, masyarakat tradisional dan rural dalam menjaga kesehatannya hanya perlu ‘bertapa’ dan ‘bersetubuh dengan alam’. Para orang tua yang lahir pada era 50/60-an sering berceritera bahwa pada masa kanak-kanak, makanan mereka sehari-hari tidak banyak dan muluk-muluk. Mereka hanya makan ketela, singkong rebus dan jagung yang diurap. Kadang mereka menjalani puasa ‘mutih’. Sesekali mereka minum jamu tradisional yang bahannya langsung dari alam. Kalau ingin memproduksi jamu temu lawak, mereka tinggal metik daunnya di belakang rumah.
Selain itu, tubuh mereka terbiasa bersentuhan langsung dengan alam. Pergi ke pasar atau sekolah yang jaraknya 5-10 km, mereka sudah terbiasa berjalan kaki. Tanya saja, kepada kakek-nenek kita yang masih ada, tentang bagaimana mereka dulu mengunjungi sanak keluarga yang jauh dari tempat tinggalnya. Pasti jawabannya hanya menggunakan ‘sikil’ (baca:jalan kaki). Meskipun ada yang menggunakan alat transportasi, paling-paling cuma sepeda dayung.
Rudolf Mrazek dalam buku ‘Engineers of Happy Land’ (2006) menulis bahwa dulu penjajah Belanda mensurvei daerah yang akan dibangun rel kereta api dan jalan raya di Indonesia, hanya dengan berjalan kaki dengan para buruhnya dari Jawa. Mereka berjalan kaki berpuluh-puluh hari lamanya. Luar biasa…! Hebat bukan?
Kini romantisme dan kebahagiaan hidup alami masyarakat tempo doeloe tidak ditemukan lagi di era modern ini, terutama di daerah perkotaan yang sudah bergumul dengan system kapitalis, kemajuan teknik dan roda industri. Masyarakat kita saat ini sudah ketagihan makanan siap saji (fast food), minuman suplemen, kapsul pelangsing tubuh, kosmetik kecantikan termasuk juga obat tradisional yang dicampur dengan bahan kimiawi. Nasi, jagung, ketela pohon dan makanan alamiah lainnya yang dulunya banyak dikonsumsi dan tak diragukan kandungan gizinya, sedikit demi sedikit ditinggalkan. Anak-anak kita sudah menggantinya dengan pizza, burger ala Mcdonald, ayam dan kentang goreng KFC, hot dog, dengan minuman tambahan berbentuk soft drink dan penambah tenaga yang notabene dalam iklannya berefek pada peningkatan kesehatan. Padahal, untuk mengonsumsinya saja, masyarakat harus membayar mahal berbagai produk ini. Padahal kandungan gizi yang ada di dalamnya sudah tak alamiah lagi.
Dalam hal gaya, dan gaya pikir pun mengalami perubahan yang drastis. Mereka yang tak menggunakan celana Levi’s, baju Crocodai, jam tangan Casio, sandal dan sepatu Pakololo, atau busana dan alas kaki produk impor lainnya akan dianggap ‘wong ndeso’ (meminjam bahasanya Thukul Arnawa). Dan, cenderung menjadi bahan sindiran, ledekan dan diacuhkan dalam kelompok sebayanya. Itulah sebabnya, mengapa pasar tradisional kian terjepit oleh kehadiran mal-mal dan pusat-pusat perbelanjaan lainnya..
Yang tak kalah problematisnya adalah masalah kinerja tubuh masyarakat modern. Jalan raya padat oleh antrean kendaraan bermotor yang berlalu-lalang. Belum lagi dibarengi sembulan asap knalpot dan suara deru mesin yang memekakkan telinga. Ironis lagi, untuk mengunjungi rumah teman yang berada 100 meter dari tempat tinggalnya saja mereka menggunakan motor. Sebuah tanda bahwa masyarakat sekarang malas menggunakan kerja ototnya secara berlebihan. Kalau otot-otot tubuh sudah jarang dipergunakan dengan maksimal, dan cara-cara instan lebih diunggulkan dalam kehidupan, bagaimana mungkin masyarakat bisa sehat?
Memang, efek perubahan gaya hidup itu tak dapat dirasakan secara langsung. Sebab, masa inkubasinya sangatlah lama, bisa 5, 10 atau 20 tahun. Tapi, begitu masa inkubasinya tiba, maka ajal pun menjadi taruhannya. Minimal, dapat mengakibatkan cacat fisik seperti kena stroke, ginjal, kanker, kolesterol, atau stress. Inilah yang dilupakan banyak orang. Apakah kita akan terus-menerus mengonsumi berbagai produk dan gaya hidup modern-kapitalistik yang bisa mendatangkan malapetaka ataukah justru sebaliknya? Manakah yang akan kita pilih; memenuhi kebutuhan hidup melalui produk modern-kapitalistik yang hanya menawarkan kesehatan di permukaan tapi penyakit kronis, ataukah kembali kepada gaya hidup alami? Jawabnya, terserah Anda. Tapi, yang jelas jawaban Anda itu akan menentukan kesehatan dan kebahagiaan hidup di masa depan. Selamat menjawab pertanyaan di atas!
*) Alumnus Sosiologi Unej, kini mengajar sosiologi di SMAN 1 Pamekasan, Madura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar