Sabtu

Srikandi Lamp Tembus Pasar Italia

OLEH: INDAH WULANDARI

Siapa sangka kap lampu artistik berlabel Made in Italy hasil karya pengrajin Indonesia? Tengok saja model-modelnya yang rumit dan antik tak kalah dengan desain seniman mancanegara. Sayang, peristiwa bom meluluhlantakkan seluruh sektor kehidupan di Bali. Mampukah usaha handycraft ini bangkit kembali?
Gurat kesedihan nampak jelas di raut baya Siti Masriah (55), pemilik usaha kerajinan kap lampu Srikandi. Usaha yang dirintis sekitar 6 tahun lalu sedang diuji. Ia masih bisa memutar ulang memori masa-masa merintis sampai jayanya. Berawal saat ia ingin mengubah nasibnya bersama sang suami, Mulyono (56) di awal tahun 90-an. Pasangan asal Kertosono, Nganjuk ini mengais rejeki di Denpasar. Mulyono yang hanya berpendidikan SD jadi pekerja di sebuah sentra pembuatan kap lampu milik orang Bali. Sang istri membuka warung nasi di sekitar Jl Imam Bonjol. Keuletan mereka membuahkan hasil. Sepuluh tahun kemudian mereka membuka galeri sekaligus workshop sendiri dari hasil tabungan. Mereka menyewa tempat di kisaran Jl Gunung Athena 99X, Denpasar yang saat itu masih murah. ‘’Dulu daerah sini sepi, akhirnya setelah jalan jalur barat menuju Kuta dibuka banyak pembeli mampir, ” ujar Sri, panggilannya.
Perkembangan pesat terlihat sampai 2002, pesanan lokal maupun untuk ekspor membanjir. Sebulan, ia bisa menggarap 1000 buah kap lampu gantung dan duduk. Kewalahan, Sri pun merekrut 5 pekerja dari kampungnya. Bahkan ia ajak pula sesama pengrajin kap lampu menggarap pesanannya untuk mengejar tenggat waktu. Namun, desain produk tetap ditangani Mulyono, suaminya. Bahan kap lampu buatan Srikandi Lamp ini bervariasi, mulai dari rotan, kain Bali, besi, bambu, sampai lidi. ‘’Kap model bola dari rotan yang paling disukai pembeli asing,” terang ibu satu putri ini. Harga jualnya pun tergantung kerumitan model dan jenis bahan, antara Rp 13-75 ribu. Tak heran, omzetnya mencapai Rp 10-80 juta per bulan. Bagaikan roda yang selalu berputar, begitu pula kondisi si pengrajin kini. Pekerjaanya menyusut jadi 2 orang bahkan orderan kosong sampai berbulan-bulan hingga omzet menurun sampai Rp 1-2 juta saja. Pesanan agak ramai sekitar bulan Februari karena pembeli butuh stok barang baru untuk dijual lagi. Namun, prinsip tetap dipegang, Sri tak mau berbisnis dengan teman dekat. Ia lebih suka bertransaksi dengan orang luar negeri atau pembeli yang tak ia kenal sebelumnya. ‘’Malahan berbisnis dengan teman dekat itu susah karena main perasaan,” terangnya. Walhasil, Sri masih bersyukur usahanya bisa bertahan. Kesehariannya kini diisi dengan merawat cucu semata wayang-nya, sedangkan Mulyono masih menggarap sendiri pesanan yang masih mengalir dari pengusaha lokal.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung