Sabtu

Terapi Puasa Dan Kebangkitan Jiwa

TEROPONG
Oleh: Sukirno WS*

“Berpuasalah, maka engkau akan sehat. Ada dua kegembiraan bagi orang beriman yang berpuasa yakni ketika berbuka dan berjumpa dengan Tuhannya” (Nabi Muhammad SAW). “Agama tanpa ilmu pengetahuan akan lumpuh, dan ilmu pengetahuan tanpa agama akan buta” (Dr Albert Einstein).

Prof Winslow dari World Health Organization mendefinisikan status kesehatan seseorang bukan sekadar bebas dari penyakit jasmani maupun cacat, tetapi mencakup kesehatan jiwa dan sosial. Penelitian ilmiah di sejumlah klinik Spa di Amerika Serikat menunjukkan, berpuasa secara teratur tidak hanya mampu mencekal berbagai penyakit yang dipicu stres lepas kendali, tapi juga untuk memperbaiki kondisi kesehatan jasmani, jiwa dan sosial seseorang. Bahkan pengendalian stres melalui puasa mampu membangkitkan energi mental untuk meraih sukses, minimal tetap survive dalam situasi krisis.

Bagi umat Islam, puasa Ramadhan merupakan momentum terbesar untuk perbaiki kesehatan. Hasil riset dari Persatuan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia menyebut, 94% penduduk Indonesia kini terkena depresi dari tingkat ringan hingga berat. Ini terjadi karena ketidakpatuhan pada peraturan, apatis, pasrah tanpa usaha dan pesimis. Ini dijelaskan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Fachmi Idris seusai menghadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta (20/6-07) untuk memperkenalkan pengurus baru IDI.

Menurut para guru Sufi, setiap orang bisa memperbaiki sistem kekebalan tubuh dan sembuh dari berbagai penyakit, jika mereka aktif mendekatkan diri kepada Allah SWT atau Tuhan Yang Maha Esa melalui metode zikir (meditasi) dan berpuasa secara teratur. Penyakit AIDS, yang secara medis belum ditemukan obatnya, bukan hanya dapat dicegah, bahkan penderita AIDS berpeluang besar untuk sembuh dengan metode tersebut. Terapi spiritual ini atas keyakinan bahwa segala energi mutlak menjadi milik Allah SWT.

Pencegahan dan penyembuhan penyakit melalui metode ini bisa sukses, sebab dengan meditasi dan berpuasa, seluruh sel dari setiap organ tubuh seseorang menerima transmisi energi dari Tuhan secara maksimal. Dr Soraya Susan Behbehani dalam bukunya The Messenger Within menulis, terapi yang dipraktikkan di California State University, AS telah sukses mengobati penderita AIDS di bawah bimbingan guru Sufi.

Kehidupan modern kian sarat risiko stres lepas kendali karena memuncaknya situasi keterasingan (alienation). Pertama, orang-orang yang terasing dari jati dirinya, sehingga tidak mengenal Tuhan. Akibatnya mereka menolak pluralisme, terjebak dalam radikalisme keagamaan dan konflik sosial. Kedua, mereka yang teralienasi dari lingkungan social, yang oleh Alvin Tovler disebut future shock. Kedua keterasingan itu membutuhkan terapi khusus untuk mencapai kesehatan rohani.

Menurut kajian filsafat The Science of the Soul, manusia tersusun atas tubuh (body), pikiran (mind), jiwa (soul) dan Tuhan (God). Mengidentifikasi jati diri manusia di era modernisasi yang sarat godaan duniawi ini, memiliki urgensi dan arti penting untuk terus dikaji ulang dengan pemuasan akal (satisfying intellect). Karena tercengkeram penyakit rohani, manusia modern lupa akan tujuan hidup yang hakiki, sehingga banyak orang yang semata-mata mengejar kenikmatan duniawi belaka, terutama mereka yang tengah mabuk kekuasaan, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN. Mereka tidak sadar bahwa kesenangan dunia itu tidak identik dengan kebahagiaan yang hakiki.

Puasa yang dihayati dengan keimanan dan keikhlasan akan memosisikan seseorang pada kesadarannya sebagai jiwa yang selalu merasa diawasi Allah SWT, sebab motifnya karena Allah SWT dan untuk Dia semata-mata. Selain itu, ibadah puasa seharusnya sebagai media pelatihan dan pembelajaran spiritual melalui penelitian internal, dan setiap orang bisa melakukan percobaan di dalam tubuhnya sendiri guna mencapai kebangkitan jiwa. Yakni meroketnya kesadaran individual ke langit kesadaran universal, sehingga terjadi transformasi keberagamaan dari beragama secara ritual menjadi beragama secara ilmiah. Masyarakat yang religius bisa terjebak arus budaya KKN karena mereka berhenti pada tataran ritualisme.

Jadi, jika di dunia ini ada sebuah laboratorium untuk melakukan eksperimen guna menemukan (baca: bertemu) Tuhan, maka laboratoriumnya hanyalah manusia. Saat hendak melakukan riset di laboratorium, maka segenap instrumen di dalamnya perlu kita bersihkan dari segala sesuatu yang bisa mengganggu proses percobaan. Begitu juga, zat-zat sampah hasil proses metabolisme bisa dibersihkan dari tubuh dengan berpuasa secara teratur yang bermuara pada kesucian jiwa.

Seorang peneliti harus konsentrasi terhadap obyek risetnya. Analogi ini berarti seseorang yang ingin membangkitkan energi ilahi dari dalam dirinya harus konsentrasi dan kontemplasi melalui teknik dan metode meditasi. Tubuh manusia adalah anugerah terbesar dari Tuhan sebagai mikrokosmos, --secara lebih jelas dan nyata. Sebagai bentuk ciptaan Tuhan yang terluhur, manusia memperoleh hak istimewa untuk bergabung dengan-Nya (The Call of the Great Master: 246). Jadi, pada dasarnya, jiwa manusia berpeluang untuk berjumpa dengan-Nya. “Yaitu orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan manusia akan kembali kepada-Nya.” (QS Al Baqarah 46). Tesis bahwa jiwa manusia dapat menemukan Tuhan ketika hidup di dunia hanya bisa dibuktikan dengan metodologi dan bimbingan guru Sufi.

Hikmah sebuah ibadah, termasuk ibadah puasa, banyak terletak pada pesan-pesan moral, dan nilai ibadah lebih ditentukan oleh aktualisasi pesan-pesan moral ke dalam keseharian hidup. Target puasa minimal untuk mencapai moralitas terluhur dengan meninggalkan segala perbuatan buruk, lalu takwa sebagai tujuan final puasa. Tetapi perjumpaan dengan Tuhan, baru bisa terjadi jika seseorang mencapai tataran puasa jiwa dengan meninggalkan segala bentuk keakuan sesudah ia berhasil mengatasi nafsu libido, kemarahan, keserakahan, kesombongan dan egoisme.
*) Konsultan Manajemen SDM ESA Unggul, Ketua Forum Studi dan Diskusi Lintas Agama (Forsdila), Depok, Jawa Barat.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung