OLEH: DIDIK PURWANTO & WURI WIGUNANINGSIH
Tidak perlu menunggu gelar untuk memulai usaha. Trio, pemuda asli Jati Drojog, Lamongan berusia 27 tahun ini telah membuktikannya. Berbekal bonek (bondo nekat) anak ketiga dari empat bersaudara ini merantau ke Pulau Dewata untuk mengenyam pendidikan S1. Beban hidup yang berat harus ditanggung sendiri karena orangtua tidak memberikan uang sepeserpun untuk biaya kuliah. Namun halangan materi tidak menyurutkan niatnya untuk bertahan hidup di persaingan kota yang semakin ketat. Alhasil, setahun berada di Bali membuatnya mengenal beberapa teman. Dari hasil silaturahmi tersebut, akhirnya ada peluang mendapatkan beasiswa ORBIT (ICMI) sebesar 100.000 per bulan dan beasiswa Supersemar 400.000 per bulan. "Senang sekali dapat beasiswa waktu itu," kenang pemilik Indeks Prestasi (IP) 3,40 yang sempat cuti kuliah selama 1,5 tahun ini.
Lantas uang dari beasiswa itupun tidak langsung dihabiskan begitu saja. Bersama tiga orang temannya, ia mencoba berdagang es di Jl Pulau Serangan, Denpasar. Tidak sampai sebulan, usahanya bangkrut karena sepi pembeli. Lantas mereka pun banting stir ke bisnis makanan di sekitar kampus, tepatnya di Jl Goris, utara kampus Universitas Udayana (Unud) Denpasar.
Berbekal pengalaman semasa di kampung halaman, dengan menu tahu, tempe, telur, lele dan lalapan, usaha makanan yang dirintis bersama tiga rekannya ini pun berjalan dan diberi nama Mawud (bahasa Jawa: acak-acakan) "Tapi Mawud juga bisa berarti Mahasiswa Udayana lho," tambah mahasiswa yang ingin meraih gelar Sarjana Sastra Agustus tahun ini. Meski tak lama kemudian dua rekannya mengundurkan diri, pengagum Chairil Anwar ini pun melangkah sendiri untuk memajukan usahanya.Menyasar segmen anak kampus yang merindukan masakan ndeso (kampung), mahasiswa Sastra Indonesia angkatan 2000 ini pun tidak memberikan harga mahal untuk makanannya. "Paling mahal 5000 rupiah, lumayan murah untuk anak kos," ujarnya sambil tersenyum. Hasil dari usahanya ini pun juga tidak dinikmati sendiri. Tiap bulan, ia menyisihkan 300.000 rupiah untuk adik dan ibunya di kampung halaman, biaya kos serta biaya pendidikannya. "Alhamdulillah bisa membantu ibu semenjak ayah tiada," tandasnya sendu.
Sementara Lintang, mahasiswa FISIP Unair Surabaya mencari tambahan uang saku dengan menekuni pembuatan pernak-pernik yang sesuai selera kaum muda. Bisnis ini lahir dari hobinya merangkai bunga dan menyusun kata-kata romantis. Meskipun hasil usahanya ini belum dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari dan kebutuhan kuliah, tapi minimal uang di saku celana tidak pernah kosong.
“Saya dapat keterampilan merangkai bunga hingga menjadi pernak-pernik seperti yang banyak dijual seperti sekarang ini dari tante saya. Kebetulan dia membuka stand yang menjual aksesoris untuk anak remaja. Kemudian saya mencoba dengan modal sendiri dan menjualnya pada teman-teman saya dan adik saya. Dan ternyata laku dan banyak yang memesan,” kata mahasiswi semester enam ini.
Lalu Lintang mengajak saudaranya berjualan aksesoris seperti ini. Diakuinya, toko yang menjual beraneka macam pernak-pernik yang berhubungan dengan remaja ini laris pada moment-moment tertentu. Misalnya Valentine atau tahun baru. Keuntungan banyak didapat, bila ada orang yang memesan untuk acara ulang tahun atau pengantin. Maklum saja, promosi hanya dilakukan di kampus dan sekolah di mana mereka berada.
Tidak perlu menunggu gelar untuk memulai usaha. Trio, pemuda asli Jati Drojog, Lamongan berusia 27 tahun ini telah membuktikannya. Berbekal bonek (bondo nekat) anak ketiga dari empat bersaudara ini merantau ke Pulau Dewata untuk mengenyam pendidikan S1. Beban hidup yang berat harus ditanggung sendiri karena orangtua tidak memberikan uang sepeserpun untuk biaya kuliah. Namun halangan materi tidak menyurutkan niatnya untuk bertahan hidup di persaingan kota yang semakin ketat. Alhasil, setahun berada di Bali membuatnya mengenal beberapa teman. Dari hasil silaturahmi tersebut, akhirnya ada peluang mendapatkan beasiswa ORBIT (ICMI) sebesar 100.000 per bulan dan beasiswa Supersemar 400.000 per bulan. "Senang sekali dapat beasiswa waktu itu," kenang pemilik Indeks Prestasi (IP) 3,40 yang sempat cuti kuliah selama 1,5 tahun ini.
Lantas uang dari beasiswa itupun tidak langsung dihabiskan begitu saja. Bersama tiga orang temannya, ia mencoba berdagang es di Jl Pulau Serangan, Denpasar. Tidak sampai sebulan, usahanya bangkrut karena sepi pembeli. Lantas mereka pun banting stir ke bisnis makanan di sekitar kampus, tepatnya di Jl Goris, utara kampus Universitas Udayana (Unud) Denpasar.
Berbekal pengalaman semasa di kampung halaman, dengan menu tahu, tempe, telur, lele dan lalapan, usaha makanan yang dirintis bersama tiga rekannya ini pun berjalan dan diberi nama Mawud (bahasa Jawa: acak-acakan) "Tapi Mawud juga bisa berarti Mahasiswa Udayana lho," tambah mahasiswa yang ingin meraih gelar Sarjana Sastra Agustus tahun ini. Meski tak lama kemudian dua rekannya mengundurkan diri, pengagum Chairil Anwar ini pun melangkah sendiri untuk memajukan usahanya.Menyasar segmen anak kampus yang merindukan masakan ndeso (kampung), mahasiswa Sastra Indonesia angkatan 2000 ini pun tidak memberikan harga mahal untuk makanannya. "Paling mahal 5000 rupiah, lumayan murah untuk anak kos," ujarnya sambil tersenyum. Hasil dari usahanya ini pun juga tidak dinikmati sendiri. Tiap bulan, ia menyisihkan 300.000 rupiah untuk adik dan ibunya di kampung halaman, biaya kos serta biaya pendidikannya. "Alhamdulillah bisa membantu ibu semenjak ayah tiada," tandasnya sendu.
Sementara Lintang, mahasiswa FISIP Unair Surabaya mencari tambahan uang saku dengan menekuni pembuatan pernak-pernik yang sesuai selera kaum muda. Bisnis ini lahir dari hobinya merangkai bunga dan menyusun kata-kata romantis. Meskipun hasil usahanya ini belum dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari dan kebutuhan kuliah, tapi minimal uang di saku celana tidak pernah kosong.
“Saya dapat keterampilan merangkai bunga hingga menjadi pernak-pernik seperti yang banyak dijual seperti sekarang ini dari tante saya. Kebetulan dia membuka stand yang menjual aksesoris untuk anak remaja. Kemudian saya mencoba dengan modal sendiri dan menjualnya pada teman-teman saya dan adik saya. Dan ternyata laku dan banyak yang memesan,” kata mahasiswi semester enam ini.
Lalu Lintang mengajak saudaranya berjualan aksesoris seperti ini. Diakuinya, toko yang menjual beraneka macam pernak-pernik yang berhubungan dengan remaja ini laris pada moment-moment tertentu. Misalnya Valentine atau tahun baru. Keuntungan banyak didapat, bila ada orang yang memesan untuk acara ulang tahun atau pengantin. Maklum saja, promosi hanya dilakukan di kampus dan sekolah di mana mereka berada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar