Sabtu

Wajah Buruk Polri

WACANA

Oleh: Alfiyah*

Penyalahgunaan senjata api (senpi) yang dilakukan anggota Polri menambah sederetan pekerjaan rumah bagi pimpinan Polri. Apalagi yang menjadi korban penyalahgunaan senpi, tidak hanya kalangan sipil yang tidak berdaya, tetapi anggota Polri juga. Yang terakhir, tewasnya Wakapolwiltabes Semarang AKBP Lilik Purwanto yang ditembak oleh anak buahnya, Briptu Hance Christian, (14/3), merupakan tamparan telak bagi Polri.
Padahal secara institusional, Polri masih dihadapkan pada setumpuk problem. Agenda reformasi yang ikut mencabik-cabik tubuh Polri masih memerlukan pemikiran tajam dari para petinggi Polri. Satu sisi, era reformasi telah memberikan banyak peluang bagi Polri untuk bangkit memperbaiki diri, tetapi di sisi lain Polri pun tidak dapat berhindar dari hantaman berbagai kepentingan politik.
Reformasi Polri memang berawal dari kebijakan yang menjanjikan secercah harapan. Sejak 1 April 1999, Polri resmi menjadi institusi mandiri dengan melepaskan diri dari tubuh TNI. Polri menjelma menjadi satu-satunya institusi yang memiliki tugas dan tanggung jawab atas keamanan dalam negeri. Secara internal, menjelmanya Polri menjadi institusi yang mandiri, memberikan kesempatan kepada Polri untuk dapat memformat diri menjadi lembaga yang mengemban amanat mahaberat. Sebagaimana termuat pada Undang-Undang No 2 Tahun 2002, Polri memiliki tugas pokok memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Namun realitasnya, harapan itu kandas. Institusi Polri malah menjadi korban situasi politik nasional yang labil akibat benturan berbagai kepentingan. Insititusi Polri terkoyak-koyak dalam percaturan politik yang tidak berujung. Nyaris setiap pergantian pimpinan nasional, institusi Polri pun menjadi korban perubahan kebijakan. Era Habibie telah menempatkan Polri berada dalam Departemen Pertahanan; Era Gus Dur memosisikan Polri langsung dalam komando Presiden; Era Reformasi tampaknya RUU Keamanan Nasional lebih mendorong agar posisi Polri berada dalam Departemen Dalam Negeri; dan logika criminal justice system yang menempatkan Polri sebagai bagian dari penegak hukum mengharuskan Polri ber­naung dalam Departemen Kehakiman.
Realitas tersebut menurut Mahi Hikmat telah mendorong institusi Polri pada labilitas komando. Apalagi berpisah dengan TNI pun masih menyisakan konflik, terutama di tataran grassroot. Intensitas kontak senjata antara prajurit TNI dengan anggota Polri lebih tinggi ketimbang ketika TNI dan Polri masih bersatu dalam wadah ABRI.
Di lapangan, Polri pun "dipaksa" harus "berperang" melawan rakyat. Sejak Orde Baru hingga kini, Polri selalu diperankan sebagai alat kekuasaan. Siapa pun yang menentang penguasa, baik di tingkat elite lokal maupun nasional, akan berhadapan dengan Polri. Silang pendapat hingga bentrokan fisik antara anggota Polri dengan rakyat pun sulit dihindari. Nyaris semua aksi unjuk rasa, demo, dan luapan kekesalan rakyat terhadap kebijakan penguasa berakhir dengan betrokan fisik dengan anggota Polri. Hal itu telah menumbuhkan kebencian rakyat terhadap Polri.
Padahal, dalam konteks ideal, anggota Polri memiliki fungsi Tri Brata Polri, yakni sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. Namun, kebijakan elite kekuasaan telah mendorong Polri untuk "mengkhianati sumpahnya" sendiri. Tri Brata Polri hanya menjadi slogan dan tenggelam dalam angan-angan. Wajar jika beberapa petinggi Polri berpandangan bahwa apresiasi anggota Polri terhadap Tri Brata Polri banyak yang baru sebatas slogan atau hafalan.
Pada sisi lain, Polri makin dihadapkan pada tantangan berat. Bahkan, terdapat sisi kontradiktif bagi langkah Polri untuk membuka aksesibilitas terhadap kepentingan rakyat. Polri dituntut untuk lebih dekat dengan rakyat sebagaimana konsepsi Tri Brata Polri dan UU RI No 2/2002, tetapi pada realitas politik, posisi Polri sudah dipereteli dari aksesibilitas politik untuk memperjuangkan aspirasi rakyat di tingkat elite politik. Perangkat peraturan politik sejak Pemilu 2004 tidak menghendaki anggota Polri duduk di kursi legislatif, termasuk ikut serta dalam panggung pesta demokrasi daerah (pilkada langsung), baik menjalankan hak memilih maupun hak dipilih.
Secara personal, para anggota Polri telah kehilangan hak keterwakilan mereka di panggung politik. Secara institusional, Polri telah kehilangan akses dalam memperjuangkan nasib institusi dan nasib rakyat. Polri tidak dapat ikut serta secara langsung untuk menentukan produk-produk politik baik yang menyangkut institusi Polri sendiri maupun rakyat. Oleh karena itu, sangat mungkin jika produk-produk politik yang lahir banyak berpihak pada kepentingan elite politik dan menjadikan Polri hanya sebagai objek politik.
Hal itu transparan dimainkan elite-elite politik, misalnya, dalam kebijakan penentuan anggaran Polri atau kebijakan lainnya yang jelas-jelas sangat diperlukan dalam optimalisasi tugas Polri. Kompleksnya permasalah yang seharusnya menjadi tugas Polri tidak disikapi oleh para elite politik nasional dengan penguatan kapasitas intitusi Polri. Pemerintah malah melahirkan lembaga-lembaga baru yang peran dan fungsinya nyaris sama dengan Polri. Sebagai penyidik, selain harus "bersaing" dengan kejaksaan, pemerintah pun melahirkan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang bernuasa ironis dalam perjalanan penguatan kapasitas Polri.
Semua realitas itu menjadi beban eksternal bagi para petinggi Polri. Padahal sisi lain, kondisi internal Polri pun sangat memerlukan perhatian yang serius. Problem lama seputar peningkatan citra Polri di mata masyarakat masih belum membumi. Kabar burung dan cerita yang nyaris memasyarakat tentang perilaku negatif sejumlah oknum anggota Polri di jalanan masih belum pulih. Bahkan, beruntunnya kasus penyalahgunaan senpi oleh anggota Polri yang berklimaks tewasnya Wakapolwitabes Semarang dapat dijadikan alasan kuat bahwa pembinaan internal terhadap anggota Polri mengendur. Jika hal itu benar terjadi, akan makin menjerebabkan citra Polri di mata masyarakat.
Realitas itu bukan tidak mungkin terjadi karena indikasi ke arah itu makin menguat. Pertama, para petinggi Polri dituntut harus menjalankan tugas dengan sukses dan memiliki kewajiban membina anggota Polri yang jumlahnya cukup banyak. Padahal, mereka pun harus memeras pikiran terkait dengan reposisi institusi Polri yang tidak juga usai akibat labilitas politik nasional. Konsentrasi yang terpecah sangat memungkinkan mereka kelelahan dan dapat mendorong kendurnya pelaksanaan tugas atau kewajiban, misalnya, menurunnya pembinaan terhadap anggota. Kedua, kondisi ekonomi nasional yang carut-marut tidak diikuti dengan penguatan kapasitas ekonomi anggota Polri, misalnya, menaikkan gaji mereka, dapat mendorong pressing berat bagi mereka sehingga sangat memungkinkan untuk bertindak menyelesaikan pelanggaran dengan pelanggaran, menyelesaikan kriminal dengan tindak kriminal.
Ketiga, rekrutmen anggota Polri yang masih diterpa isu sogok-menyogok sampai ratusan juta rupiah harus dijernihkan. Proses seleksi terhadap calon anggota Polri harus lebih objektif, sehingga melahirkan personel Polri berkapasitas memadai, tidak mencetak anggota Polri yang karbitan. Keempat, proses pergantian pimpinan di institusi Polri, baik setingkat polri, polda, polwil/polwitabes, polres/polresta, maupun polsek yang tidak berjangka waktu, artinya dapat diganti kapan saja, tidak memberikan kesempatan cukup kepada pimpinan institusi tersebut untuk melakukan pembinaan terhadap anggota lebih intensif dan tidak memberikan kesempatan kepada anggota untuk lebih mendekatkan hati.
Proses pembinaan efektif tidak cukup melalui jalur komando, tetapi juga melalui hubungan kekeluargaan. Dalam hubungan kekeluargaan tidak hanya tercipta atasan dan bawahan, tetapi hubungan kakak-adik, atau ayah-anak sehingga sanksi seberat apa pun bukan karena benci, tetapi karena sayang.

*) Peneliti pada Police Watch Center, Sidoarjo.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung