Rabu

Pemerintah Tidak Tegas Tindak Pelaku Pencemaran

Bambang Mei Finarwanto
Pembuangan limbah hasil sisa olahan industri, rumah tangga maupun limbah hotel telah terjadi secara umum dan banyak menimbulkan dampak (bencana) bagi masyarakat. Tidak terkecuali di NTB, persoalan limbah, kelestarian lingkungan dan terjaganya ekosistem alam yang menguntungkan juga banyak menjadi sorotan dan pembahasan. Bagaimana persoalan limbah dan lingkungan di NTB secara umum, berikut petikan wawancara dengan Bambang Mei Finarwanto, pemerhati lingkungan dan Dewan Daerah Wahana Lingkungan Hidup NTB.

Bagaimana Anda melihat persoalan limbah di NTB?

Limbah-limbah hotel Senggigi ada indikasi dibuang di sekitar kawasan hutan Pusuk, Lombok Utara baik sampah industri maupun bahan B3 (limbah beracun). Sementara di kawasan pesisir, limbah banyak dibuang perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang batu apung.

Bagaimana peran pemerintah daerah?

Sebenarnya kita berharap banyak peran yang dilakukan oleh Bapedalda maupun BPM LH (Badan Penanaman Modal Lingkungan Hidup) sebagai salah satu instrumen untuk mengawasi maupun mencegah terjadi kerusakan lingkungan oleh masyarakat maupun pelaku industri. Tetapi pengamatan kami, faktanya BPMLH maupun Bapedalda tidak bisa berbuat banyak terhadap persoalan-persoalan.

Penyebabnya?

Karena tidak adanya keberanian dari aparat pemerintah untuk menindak tegas pelaku pencemaran ini. Kedua ada semacam westert in interest antara pemerintah dengan pelaku pencemaran. Persoalan semacam ini kemudian menjadi sangat rumit ketika hukum lingkungan diimplementasikan. Sebenarnya aturan-aturan yang menjerat pelaku pengrusakan lingkungan ini cukup banyak aturan hukum yang melindungi. Misalnya UU Lingkungan Nomor 23/1997 tentang UU Pokok LH, PP Nomor 27/1999 tentang Amdal. Aturan-aturan itu sebenarnya upaya untuk melindungi alam maupun lingkungan yang ada dari segala macam kerusakan. Tapi nyatanya sejumlah instrumen itu tidak dilakukan secara optimal dalam menindak pelaku pencemaran kerusakan lingkungan.

Bagaimana konteks pencemaran limbah di NTB?

Ada dua hal. Pertama, pencemaran yang disebabkan oleh kegiatan-kegiatan rumah tangga, dengan adanya pembuangan sampah dan sebagainya. Kedua, pencemaran pelaku industri skala menengah dan besar. Rata-rata permasalahan masyarakat terhadap pencemaran lingkungan masih rendah. Terbukti misalnya, 10-15 tahun lalu kualitas air sungai di kota Mataram jauh lebih bagus dibanding sekarang. Sekarang airnya sudah keruh, sampah menumpuk di mana-mana. Sementara kesadaran masyarakat di sekitar DAS (daerah aliran sungai) juga rendah, bagaimana mengamankan sungai menjadi tidak tercemar dan sebagainya. Padahal sungai jadi urat nadi bagi semua pihak.

Apakah kawasan ekosistem di pesisir sudah tercemar parah?

Benar, di kawasan pesisir juga terjadi hal yang sama. Selain batu apung juga kegiatan industri pertambangan dan sebagainya. Hal semacam ini bisa mempengaruhi secara bertahap kerusakan lingkungan yang ada kalau tak ditangani secara optimal. Sebenarnya kondisi ini bisa kita minimalkan kalau ada semacam kesadaran kolektif dan sikap tegas aparat dalam mengamankan aturan yang mengatur tentang UU LH ini.

Bagaimana dengan kuantitas dan kualitas mata air di Lombok?

Ya, kita lihat kualitas mauipun kuantitas mata air di Lombok ini rata-rata sudah menurun. Karena adanya penebangan liar (illegal logging). Kalau kerusakan-kerusakan sebagai penyebab kurangnya air ini dibiarkan, akan mempengaruhi kerusakan secara keseluruhan. Karena kerusakan di suatu wilayah akan mempengaruhi kerusakan di wilayah lain. Karena yang namanya lingkungan merupakan satu sistem utuh yang saling terkait satu dengan yang lain. Contohnya di kota Mataram, kualitas air sudah berubah, karena pencemaran yang dilakukan oleh masyarakat dan juga akibat industri meningkat sehingga volume pencemaran meningkat pula.

Pelaku pengrusakan lingkungan kok tak dihukum berat?

Kita hingga saat ini belum mendengar pelaku pengrusakan lingkungan diberi hukuman setimpal sesuai yang diamanatkan UU 23/1997, Tapi sebaliknya yang terjadi pemerintah tidak bisa berbuat banyak untuk menghukumnya. Tapi saya melihat isu lingkungan belum dijadikan semacam isu pokok dalam pembangunan. Jika isu lingkungan dijadikan isu sentral, akan sangat bagus bagi pemulihan rehabilitasi ekosistem yang ada di NTB. Karena kita tak mungkin mewarisi kerusakan lingkungan pada generasi berikutnya. Kita punya tanggung jawab moral untuk itu.

Solusinya bagaimana?

Pemerintah dan pelaku usaha melakukan komitmen untuk sama-sama memerbaiki kondisi lingkungan sekitarnya, guna memperkecil tingkat kerusakan lingkungan akibat industri yang dijalankan seperti usaha batu apung harus dipikirkan dampaknya sebelum dibuang ke sungai, laut dan tetap mengacu pada UU Pokok Linglungan Hidup.
Untuk mengatasi limbah sampah rumah tangga, pemerintah bisa mengupayakan pengolahan sampah agar bisa bermanfaat dan bernilai ekonomis. Masyarakat diberi kesadaran bahwa sampah yang dibuang bisa mendatangkan hasil.
Upaya bersifat pragmatispun bisa dilakukan, seperti budaya lama gerakan gotong-royong, seperti di Lombok Barat ada gerakan Jumat Bersih. Kegiatan-kegiatan seperti ini perlu dihidupkan kembali. Untuk itu bagaimana kita menjadi pelopor lingkungan namun tidak secara parsial, namun tetap dilakukan secara kontinyu dan berkesinambungan. Contoh lain yang bisa dilakukan yakni dengan penanaman 1000 pohon, tidak hanya sebatas menanam, tapi juga harus merawat, tidak simultan, tak bisa menilai keberhasilan dan kita masih punya waktu, mumpung di NTB ini persoalan lingkungan tak begitu parah seperti di Bangka Belitung.
(Pewawancara: Hernawardi)

BIODATA:
Nama : Bambang Mei Finarwanto
Pendidikan terakhir : Fakultas Hukum Universitas Mataram Tahun 1996
Pengalaman Organisasi :
- Eksekutif Daerah (ED) Walhi NTB (1996-2002)
- Dewan Daerah WALHI NTB (2002-2005)

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung