Rabu

Sistem Pendidikan Kita Melahirkan Hitler Baru

Hartanto
Remaja muda identik dengan aktivitas mencari kesenangan diri. Dunia muda selalu dikaitkan dengan waktu luang, kebebasan dan semangat pemberontakan. Tak sadar, media massa dan industri telah menciptakan kebutuhan remaja demi kepentingan pasar. Alhasil, lahan “basah” mampu dihasilkan dari perkawinan bisnis tersebut. Siapakah yang menjadi korban? Wartawan media mewawancarai budayawan Hartanto soal trend budaya populer yang melanda generasi masa depan penerus bangsa tersebut.

Bagaimana pandangan Anda terhadap budaya populer yang melanda generasi muda kita sekarang?

Pada prinsipnya semua budaya itu bagus, namun kita harus selektif terhadap budaya bangsa lain yang akan kita adopsi sebagai budaya kita. Masyarakat, terutama generasi muda cenderung kurang siap dalam mengadopsi budaya tersebut. Di jaman teknologi digital ini, beragam piranti mampu mempermudah tugas keseharian kita. Tapi dengan ketidaksiapan mengadopsi budaya global tersebut, justru akan mempersulit diri sendiri bahkan akan menggilas kita. Contoh, handphone. Piranti ini sekarang bukan dianggap sebagai barang mewah lagi. Apabila kita mampu menggunakan alat tersebut sesuai fungsi dan kebutuhan, tentu akan menguntungkan kita. Sebaliknya, jika tidak mampu, piranti tersebut akan menguras kantong (penggunaan pulsa) dan sarana pornografi (kasus skandal seks melalui kamera HP) serta korban kapitalisme global.

Apa penyebabnya?

Inilah kegagalan pemerintah menerapkan standar pendidikan nasional. Selama ini, pemerintah hanya menggenjot teori dan melupakan serum pendidikan tentang rasa dan budi pekerti. Manusia tidak dididik untuk lebih manusiawi dengan menggunakan hati nurani namun hanya mengejar standar kompetensi berupa kemampuan secara rasional semata. Penerapan sistem tersebut hanya akan melahirkan Hitler-Hitler masa kini yang turut mewarisi Hitler jaman dulu. Lihat saja kasus IPDN yang telah melahirkan Hitler kecil. Anak-anak sekolah hanya dibebani dengan buku diktat yang super berat. Mereka tidak pernah dididik agar bersih hati malah tambah besar kepala.

Solusinya?

Salahkan pemerintah lagi. Pengambil kebijakan yang telah kita percaya sebagai representasi rakyat jangan cuma omong doang, koar-koar menyejahterakan rakyat namun hasilnya masyarakat tambah melarat. Pemerintah kurang peduli terhadap pendidikan kita. Buktinya, anggaran pendidikan 20% pun masih belum bisa dipenuhi, malah menggalakkan pembangunan fisik yang terkadang malah rusak akibat kerusakan massal terkait sengketa pribadi atau aparat yang tidak bertanggungjawab terhadap kinerjanya. Uang rakyat hanya dihabiskan untuk bangun ini dan itu, sementara pembangunan mental cuma isapan jempol. Di jaman Bung Karno, pemerintah ada subsidi buku meski itu bantuan Rusia. Sekarang, pemerintah malah getol menggiatkan pajak kertas, pajak buku dan pemotongan royalti penulis. Bagaimana masyarakat bisa sejahtera sementara akses ilmu pengetahuan ditutup? Apakah kita akan membenarkan, orang miskin dilarang sekolah?
Sekarang kita harus berusaha mengangkat bahu bersama-sama. Pemerintah sebagai pemegang kebijakan harus peduli terhadap pendidikan masyarakatnya. Minimal dana APBD bisa dialokasikan untuk pembangunan perpustakaan untuk masing-masing sekolah, banjar atau desa. Jangan pusatkan ilmu pengetahuan mengendap di kota saja. Masyarakat desa dan pelosok juga berhak atas informasi tersebut. Hapus biaya pajak-pajak itu. Bali Mangsi juga sedang menggagas proyek sumbangan buku untuk anak-anak di Bali dan seluruh Indonesia. Dengan demikian, masyarakat dapat mengakses ilmu pengetahuan dengan mudah dan murah. Minat membaca kembali meningkat dan tingkat kecerdasan juga melesat. Angka kriminalitas dan problematika sosial bisa ditekan serta budayakan tradisi dialog bukan adu mulut apalagi adu otot.
(Pewawancara: Didik Purwanto)

BODATA:
Nama : Hartanto
TTL : Solo, 12 November 1958
Aktivitas : Direktur Rumah Budaya Bali Mangsi (1996-sekarang)
Alamat : Jl Satelit 17 Denpasar, Telp (0361) 236442, HP. 08155705569

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung