Sabtu

Didit Hape Dan Sanggar Alang-Alang

Oleh: Wuri Wigunaningsih

Mahalnya biaya pendidikan Belum membaiknya kondisi perekonomian di negeri ini ditandai dengan mahalnya biaya pendidikan. Akibatnya, semakin banyak anak jalanan yang berkeliaran di jalanan. Mereka sering dianggap sebagai penyakit masyarakat. Pemandangan seperti ini, banyak ditemui di terminal atau pinggir jalan, baik sebagai pengemis maupun pengamen. Terminal Kota Joyoboyo Surabaya merupakan salah satu lokasi alternatif dan strategis buat para pengemis dan pengamen mempertahankan hidup dan kehidupan.

Potret itu mendorong budayawan, seniman dan wartawan senior TVRI Surabaya, Didit Hape mendirikan Sanggar Alang-Alang, pada 16 April 1999. ’’Saat ini, kira-kira ada 261 anak binaan. Semuanya berasal dari anak jalanan, terlantar atau anak dari keluarga tidak mampu. Awalnya sih saya merasa prihatin ketika melihat banyak anak berkeliaran di terminal Joyoboyo. Mereka ada yang mengamen, mengemis atau berjualan asongan. Mereka tidak bisa membaca, menulis, kotor dan identik tidak mempunyai etika maupun estetika. Saya hanya punya kemampuan berkesenian. Karena itulah, saya tergerak hati untuk mengajari mereka tentang seni,’’ kata pengelola sanggar seni yang sudah cukup dikenal, baik di dalam maupun luar negeri itu.

Sejak awal, Didit Hape mempunyai program yang intinya mengajar tentang kesenian, estetika, etika dan norma secara gratis. Seiring dengan perputaran waktu, Sanggar Alang-Alang Surabaya berkembang cukup baik. Potret sanggar ini tidak terlepas dari sejumlah program pendidikan yang digelontor secara kontinyu dan konsisten. Misalnya, memberikan pendidikan tambahan kepada anak-anak dari keluarga tidak mampu tapi masih aktif sekolah, ada pendidikan khusus buat anak kurang mampu tapi punya talenta atau bakat di bidang seni dan olah raga.

Selain itu, ada pendidikan berupa bimbingan khusus untuk anak perempuan yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan anak perempuan korban trafiking. Bimbingan juga diberikan kepada orang tua yang sifatnya praktis dan mampu mengatasi masalah ekonomi keluarga. Seperti kursus memasak atau keterampilan lain.

’’Supaya tidak mengganggu aktivitas mereka, kegiatan kita lakukan mulai jam 3 atau selesai Adzan Ashar sampai jelang Magrib. Di sini juga ada program pendidikan agama. Karena kita ingin mengubah konotasi jelek pada anak-anak jalanan. Mereka yang datang ke sini harus bersih dan memakai baju seragam yang sudah kita berikan. Mereka yang masih kotor tidak boleh masuk sanggar ini,’’ urai Didit Hape.

Setelah hampir 10 tahun, sanggar yang awalnya berdiri di dalam terminal Joyoboyo, mendapat pengakuan dari masyarakat umum, baik dari dalam maupun luar negeri. Hal ini terlihat dari banyaknya mahasiswa dari berbagai universitas di Surabaya yang melakukan penelitian di Sanggar Alang-Alang. Bahkan beberapa tahun terakhir, mahasiswa dari universitas di luar negeri juga tidak luput menjadikan sanggar tersebut sebagai salah satu basis penelitian. Kini, sanggar itu sudah menyewa rumah sendiri di luar terminal Joyoboyo.

Berbagai penghargaan sudah dikoleksi sanggar yang juga menampung banyak anak jalanan dari luar kota Surabaya itu. Di bidang olah raga, petinju dari Sanggar Tinju Alang-Alang pernah menjuarai satu kompetisi tingkat nasional dan mendapat penghargaan dari Menpora. Berbagai prestasi yang dikoleksi Sanggar Alang-Alang itu, ikut menggugah sebuah lembaga pendidikan luar negeri untuk memberikan penghargaan khusus berupa pendidikan alternatif.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung