Sabtu

Pemanasan Global & ANV

TEROPONG
OLEH: Rm Maxi Florens UN Bria Pr*

Kekerasan Cerminan Jiwa yang rapuh (Mahatma Gandhi). Apakah kepanasan global yang kini kita alami adalah buah dari kekerasan yang kita ciptakan terhadap ekologi? Siapa yang menabur, dialah yang menuai. Yang menabur baik, menuai kebahagiaan. Yang menabur perbuatan buruk dan salah, menuai keluhan dan ketidaknyamanan. Kedamaian dan kenyamananan terganggu. Itulah secuil gambaran seputar keluhan masyarakat di berbagai belahan dunia terhadap sengatan udara panas yang kian mengglobal.

Beberapa hari ini Komisi Justice and Peace serta Komisi Kerasulan Awam Gereja Katolik Regio Bali, Nusa Tenggara dan Tomor Leste menggelar focus disscusion tentang Gerakan Active Non Violence (ANV) di Denpasar, Bali. Salah satu topik spesifik yang menyita perhatian peserta adalah masalah pemanasan global (global warning). Pemanasan global dilihat sebagai hasil kekerasan ciptaan manusia yang tidak bersahabat dengan lingkungan hidup. Relasi yang tidak seimbang antara manusia dengan alam tersebut seakan melegalkan sikap konsumeristik dan egosentrik yang melahap habis sumber daya alam tanpa upaya pemeliharaan, pelestarian dan kepekaan terhadap kepentingan hidup banyak orang. Sikap ini secara kasat mata telah menghadirkan pemanasan global yang kian tak terbendung.

Pembangunan dan pengembangan diri yang tidak selaras dengan alam hanya akan menghadirkan berbagai konflik dan kekerasan baru. Bumi panas. Hati panas dan kepala pun panas dalam menghadapi berbagai persoalan yang dilecut dari sikap-sikap manusia yang cenderung keras, jauh dari keharmonisan dan keserasian.

Adakah yang salah? Pemanasan global sungguh mengancam hidup. Apa yang sedang terjadi adalah gambaran dari akumulasi kekerasan yang pernah manusia lakukan bagi lingkungan sebelumnya. Dan kekerasan yang paling tidak adil dan sangat mengancam perdamaian adalah kemiskinan kepekaaan dan kemiskinan cinta terhadap lingkungan hidup sebagai sesama ciptaan Tuhan.

Manusia sering mendapatkan apa yang diingini atau apa yang tidak mungkin ditolak. Manusia mengamini fakta, kepanasan global telah melahirkan ancaman bagi perdamaian dunia. Bila kita meyakini serius bahwa pemanasan global yang sedang merangsek di setiap lini kehidupan sama sekali tidak bisa diterima, dan bahwa pemanasan global tidak boleh dibiarkan terus berbias dalam masyarakat beradab, maka seharusnya semua elemen masyarakat berjuang ekstra dan berusaha membangun gerakan bersama demi menciptakan dunia yang bebas dari sikap kekerasan terhadap alam ciptaan; Manusia dan Lingkungan Hidup. Karena sama-sama ciptaan Tuhan, maka Gerakan ANV (Gerakan Aktif Tanpa kekerasan) atau yang saya sebut sebagai Gerakan Peradaban Tanpa Kekerasan, pantas dikedepankan sebagai antisipasi dini menyiasati dan menyikapi pemanasan global.

Peradaban Tanpa Kekerasan dimaknai sebagai salah satu strategi baru untuk melawan kekerasan atau kejahatan, tanpa meggunakan kekerasan. Di sini, peradaban tanpa kekerasan dipahami sebagai sebuah habitus (kebiasaan) baru dalam semua aktivitas manusiawi, yang disuport spirit budaya kasih.

Saya teringat dengan ucapan Abraham Linchol: Dalam semua aktivitas, kita tidak dapat menolong orang miskin dengan menghancurkan orang kaya. Tidak dapat mengangkat penerima upah dengan menekan pembayar upah. Tidak dapat terhindar dari masalah dengan menghasilkan penghasilan lebih besar. Tidak dapat memajukan rasa persaudaraan dengan mendorong kebencian antar ras. Tidak dapat menciptakan keamanan di atas uang pinjaman. Tidak dapat membangun karakter dan semangat dengan merampas inisiatif dan kemerdekaan. Dan kita tidak bisa mengembalikan sejuknya alam semsta dengan semakin merusak dan melakukan kekerasan terhadap lingkungan hidup di mana kita berada.

Mengaca pada pernyataan Lincoln di atas, maka penting diketahui dan sejatinya dihayati dalam setiap way of life setiap diri tentang prinsip dan kekuatan theologis peradaban tanpa kekerasan (Active Non Violence): Pertama, Manusia citra Allah dipercayakan untuk menata lingkungan hidup secara arif dan bertanggung jawab, tanpa pemusnahan, penghancuran dan pengrusakan yang merusak keserasian relasi sesuai alam semesta. Segala sikap over kelolah dan keliru hanya mendatangkan akibat terpuruk bagi sesama manusia itu sendiri.

Kedua, setiap manusia yang mewarisi kebaikan Allah: cinta, kasih, perdamaian, keadilan, kebenaran, persaudaraan dan kesederajatan, seharusnya juga bersikap adil dan penuh kasih dalam menata dan menggunakan alam ciptaan secara baik dan seimbang. Ketiga, kehidupan masyarakat damai pada mulanya. Lingkungan yang rusak dapat pula mengganggu interaksi antar manusia dalam kehidupan bermasyarakat lintas negara, daerah dan bahkan lintas kampung atau suku. Pada titik ini, kita semestinya sadar bahwa interaksi manusia yang tidak harmonis dapat bermuara untuk melahirkan realitas konflik dan kekerasan antara sesama manusia. Penataan dan pengolahan alam semesta yang baik dan benar dapat mendukung terciptanya perdamaian sebagai cita-cita global yang universal.

Keempat, kodrat manusia menolak penderitaan. Pemanasan global melahirkan penderitaan dan kecemasan. Di sini, manusia yang peduli perlu bersatu dalam sebuah gerakan sosial untuk memelihara, mencintai dan melestarikan bumi serta lingkungan hidupnya sebagai bagian integral untuk menciptakan perdamaian di atas kolong langit ini.

If you wont peace work for justice? Jika anda menginginkan perdamaian, bekerjalah untuk keadilan. Pemanasan bumi adalah buah dari ketidakadilan bersikap terhadap terhadap bumi dan lingkungan hidup. Relasi yang timpang dalam menata lingkungan tanpa memandang sebagai sahabat dan sesama Ciptaan, telah menggelorakan semangat konsumeristik, merasuk dan melahap habis semua lingkungan hidup dan kekayaan yang dikandungnya. Hutan rimba telah menjadi bukit gundul kini. Sumber air bersih telah terkontaminasi. Polusi udara mengitari kita. Ternyata kita tidak senyaman dulu lagi.

Kekerasan yang pernah kita tabur terhadap alam, kini kita tuai ketidaknyamanan. Masihkah ada nurani dunia bagi pemanasan global? Tentu ada. Karena itu gerakan aktif tanpa kekerasan atau yang peradaban tanpa kekerasan Indonesia mengajak semua pihak untuk mengolah bumi secara bertanggung jawab tanpa kekerasan. Mengolah dengan arif dan bebas dari pengrusakan serta pemusnahan global. Pada simpul ini, sebaiknya semua kita mencamkan pernyataan Uskup Romero: “Mungkin kita tidak akan pernah melihat hasil akhir, tetapi inilah perbedaan antara Tuan Pembangunan dan Pekerja. Kita adalah pekerja, dan bukan Tuan Pembangunan, Pelayan bukan Mesias. Kita ini nabi-nabi masa depan yang bukan milik kita.
*) Koordinator Komisi Justice and Peace Regio Nusa Tenggara & Koordinator International Community Damian the Lovers of Molokai Asia Pasific, tinggal di Kupang, NTT.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung