Sabtu

Vina Panduwitana: Pahitnya Aksi Pembajakan Itu

Pasar musik Indonesia ditengarai banyak diseroboti produk bajakan. Situasi ini mempengaruhi eksistensi musik yang dimotori artis penyanyi maupun industri rekaman, ungkap Theodore KS, pengamat musik Indonesia. Dengan begitu mudah, seseorang bisa membeli sebuah album di emperan jalan Rp 5.000, dan aslinya minimal Rp 23.000.

Aksi pembajakan yang kian marak ikut mengurangi penghasilan seorang artis penyanyi dan industri rekaman di tanah air. Hampir semua musisi papan atas Indonesia seperti Audy, Ratu, Shanti, Gigi dan Padi sudah merasakan pahitnya getah yang digasak aktor-aktor pembajakan.

Setiap melempar sebuah album ke pasaran tidak satupun yang terjual lebih dari satu juta keping. Prestasi tertinggi diraih Seila On Seven yang tembus 750 ribu keping pada album pertama, dan rekor pasar ini belum terpecahkan. “Kita lihat sekarang, penyanyi itu hidupnya dari panggung ke panggung. Bila ini terus didiamkan maka kita hanya tinggal menunggu kehancuran industri rekaman Indonesia,” ujar Theodore.

Untuk memenuhi kebutuhan, para artis harus berani terjun ke dunia sinetron dan geluti bisnis yang masih dekat dengan kehidupannya seperti broadcast dan butik. Industri rekaman Indonesia terselamatkan dengan adanya media survive lewat ring back tone. Grup-grup musik seperti Pass Band dan Nidji melawan pembajak dengan membuat Fans Club. Pass Band memberi kebebasan kepada setiap fans club untuk memberi nama seperti Bocah Pass, Barudak Pass dan Kawan Pass. Fans club Nidji disebut Nidjiholic.com dan Nidjiblogspot.com.

Artis Si Burung Camar, Vina Panduwinata tampaknya gerah dengan maraknya pembajakan hak cipta di bidang seni musik Indonesia. Tidak heran bila anggota Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu dan Penata Musik Rekaman (PAPPRI) itu, sangat getol terhadap praktek liar itu. ‘’Saya terjun ke dalam organisasi PAPPRI karena sudah gerah dengan pembajakan hak cipta di bidang karya musik Indonesia. Saya pikir membereskan masalah hak cipta mudah. Ternyata, begitu saya berjuang bersama PAPPRI merupakan masalah kompleks dan terkait berbagai pihak,’’ kata pemilik nama asli Vina Dewi Sastaviyana Panduwinata.

Bersama PAPPRI inilah, Vina berjuang mulai dari seminar, orasi dan mendesak pemerintah untuk membentuk Dewan Hak Cipta dan lain-lain. ‘’Saya banyak mendapat pelajaran tentang perkembangan musik tanah air dan permasalahan. Kalau dibilang capek, iya. Tapi, kalau kita melakukan sesuatu untuk orang banyak, kayaknya nikmat aja. Saya merasa ada sesuatu yang didapatkan dari sini,’’ kata diva musik pop Indonesia era 1980-an ini.

Menurut Vina, dirinya aktif di PAPPRI karena merasa memiliki tanggung jawab untuk ikut sosialisasikan keberadaan musik Indonesia yang telah membesarkan namanya. Memajukan musik Indonesia adalah dambaan semua insan musik. ‘’Sebuah bangsa akan tumbuh menjadi bangsa yang baik karena pengaruh musik. Sebab, sejak lahir kita sudah mengenal musik. Di dalam kandungan juga diperkenalkan. Hampir setiap detak jantung kita ditemani oleh musik,’’ jelasnya.

Wanita kelahiran Bogor, Jawa Barat, 6 Agustus 1959 ini merupakan salah satu penyanyi senior papan atas yang layak disebut diva musik pop Indonesia. Puluhan album sudah melegenda dalam litani musik Indonesia. Diawali album pertama Java dan Single Bar (1978) dan rilisan Sorry Sorry dan Touch Me (1979). Lewat album Burung Camar (1985), nama Vina kian meroket. Dan bahkan lagu dengan judul yang sama menjadi ikon seorang Vina dengan sebutan Vina, Si Burung Camar. (Agus Salam & Roro Sawita)

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung