Nyoman Sri Widhiyanti,SH
Riuh sidang UNFCCC (United Nation Framework Climate Change Conference) di Nusa Dua, 3-14 Desember 2007 hanya bisa diikuti oleh orang-orang tertentu dengan kepentingan tertentu. Masyarakat kecil yang notabene menerima dampak terbesar perubahan iklim hanya bisa pasrah menerima hasil sidang tersebut. Namun akankah masyarakat sipil tersebut diam saja? Beragam aliansi peduli lingkungan berembug bersama menyuarakan aspirasi mereka. Entah didengar atau tidak oleh penguasa pemerintah, mereka tetap riuh dan semangat menuntut keadilan atas perubahan iklim tersebut. Berikut petikan wawancara media ini dengan Srikandi dari Bali, Nyoman Sri Widhiyanti, Direktur Walhi Bali.
Bagaimana Anda melihat hasil konferensi UNFCCC di Nusa Dua selama ini?
Setelah beberapa hari konferensi perubahan iklim tersebut berjalan, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) melihat terjadi pergeseran yang sangat besar dari substansi isu global warming menjadi konferensi perdagangan karbon. Meski delegasi Indonesia merupakan Presiden COP 13 (Conference of Party), Wakil delegasi kita tidak memiliki kemampuan untuk berdiplomasi memperoleh keadilan iklim serta menghasilkan manfaat bersama bagi keberlangsungan bumi. Negara-negara maju masih berorientasi pada ekonomi politik negara setempat dan berusaha menekan negara berkembang agar mau menerima proyek REDD (Reduce Emission from Deforestation and Degradation), mitigasi, adaptasi dan penjualan karbon (carbon trading).
Kenapa kita dirugikan dengan perdagangan karbon tersebut?
Skema perdagangan karbon tidak bisa dielakkan karena sudah masuk agenda nasional. Selain itu, akan dibahas pula pembicaraan mengenai perdagangan emisi dalam upaya negara-negara maju mengurangi emisinya. Meski Australia bersedia meratifikasi masuk Protokol Kyoto namun penyumbang emitor terbesar Amerika Serikat belum mau meratifikasi Protokol Kyoto tersebut. Negara-negara maju malah getol ingin membeli hak pengelolaan hutan karena ada bisnis masa depan yakni bisnis keragaman hayati. Bisnis itu adalah sumber daya genetik.
Riuh sidang UNFCCC (United Nation Framework Climate Change Conference) di Nusa Dua, 3-14 Desember 2007 hanya bisa diikuti oleh orang-orang tertentu dengan kepentingan tertentu. Masyarakat kecil yang notabene menerima dampak terbesar perubahan iklim hanya bisa pasrah menerima hasil sidang tersebut. Namun akankah masyarakat sipil tersebut diam saja? Beragam aliansi peduli lingkungan berembug bersama menyuarakan aspirasi mereka. Entah didengar atau tidak oleh penguasa pemerintah, mereka tetap riuh dan semangat menuntut keadilan atas perubahan iklim tersebut. Berikut petikan wawancara media ini dengan Srikandi dari Bali, Nyoman Sri Widhiyanti, Direktur Walhi Bali.
Bagaimana Anda melihat hasil konferensi UNFCCC di Nusa Dua selama ini?
Setelah beberapa hari konferensi perubahan iklim tersebut berjalan, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) melihat terjadi pergeseran yang sangat besar dari substansi isu global warming menjadi konferensi perdagangan karbon. Meski delegasi Indonesia merupakan Presiden COP 13 (Conference of Party), Wakil delegasi kita tidak memiliki kemampuan untuk berdiplomasi memperoleh keadilan iklim serta menghasilkan manfaat bersama bagi keberlangsungan bumi. Negara-negara maju masih berorientasi pada ekonomi politik negara setempat dan berusaha menekan negara berkembang agar mau menerima proyek REDD (Reduce Emission from Deforestation and Degradation), mitigasi, adaptasi dan penjualan karbon (carbon trading).
Kenapa kita dirugikan dengan perdagangan karbon tersebut?
Skema perdagangan karbon tidak bisa dielakkan karena sudah masuk agenda nasional. Selain itu, akan dibahas pula pembicaraan mengenai perdagangan emisi dalam upaya negara-negara maju mengurangi emisinya. Meski Australia bersedia meratifikasi masuk Protokol Kyoto namun penyumbang emitor terbesar Amerika Serikat belum mau meratifikasi Protokol Kyoto tersebut. Negara-negara maju malah getol ingin membeli hak pengelolaan hutan karena ada bisnis masa depan yakni bisnis keragaman hayati. Bisnis itu adalah sumber daya genetik.
Dengan mekanisme ini, negara maju wajib memberikan insentif kepada negara berkembang yang memiliki hutan. Meski hutan kita makin menipis akibat pembalakan liar namun masih berpotensi untuk mengurangi emisi karbon dunia. Sebenarnya Indonesia bisa meraup untung dari usaha tersebut. Tapi aturan implementasi dagang karbon masih belum jelas, siapa penjual dan siapa pembeli serta mekanismenya. Begitu juga distribusi uang yang didapat, kemungkinan alternatif solusi dan asal dana pembiayaan. Konsep REDD juga akan menjadi masalah jika pemerintah Indonesia belum mampu mengelola hutan secara memadai. Regulasi pemerintah terhadap pembalakan liar masih belum jelas. Tanpa aturan ini, masyarakat akan berebut rezeki atas penebangan ilegal tersebut.
Bagaimana dengan nasib masyarakat Indonesia yang sebagian besar ada di pedalaman hutan dan pesisir?
Memang sebagian besar penduduk Indonesia bermukim di pedalaman hutan dan pesisir pantai. Merekalah yang akan menerima dampak terbesar dari perubahan iklim dunia tersebut. Bumi yang makin memanas membuat es di kutub meleleh dan volume air laut makin meninggi. Masyarakat pesisir akan tenggelam dan miskin. Begitu juga dengan masyarakat di hutan. Jika mereka makin marak menebang hutan sembarangan, bencana alam pun akan menimpa mereka. Hal ini yang membuat kami ingin membangun solidaritas bersama masyarakat Indonesia dan internasional untuk bahu-membahu melakukan sesuatu untuk bumi. Rakyat termasuk masyarakat adat yang selama ini haknya masih terpinggirkan harus diberikan kepercayaan kembali memegang kendali tanah-tanah mereka bukan pada Negara Anex 1 (negara maju penyumbang emitor terbesar di dunia). Kami menuntut keadilan atas perubahan iklim ini.
Maksudnya?
Rakyat harus diberi ruang untuk melakukan kearifan lokal yang selama ini mereka jalankan. Upaya untuk menjaga keberlanjutan alam dan lingkungan sudah menjadi bagian dari praktek kehidupan masyarakat lokal setempat di berbagai belahan bumi. Misalnya masyarakat Bali yang telah menjalankan ritual Nyepi. Menurut kepercayaan masyarakat umat Hindu Bali, mereka melakukan empat pantangan dalam ritual tersebut yaitu tidak bekerja (amati karya), tidak menyalakan api atau menyalakan sesuatu (amati geni), tidak bepergian (amati lelungaan) dan tidak menghibur diri (amati lelanguan). Dengan adanya catur barata (empat pantangan) tersebut, manusia tidak mengotori udara dengan gas-gas buangan hasil pembakaran (gas emisi rumah kaca).
Berapa jumlah emisi yang dihemat saat Nyepi?
Diperkirakan saat Nyepi, emisi berkurang sekitar 20 ribu ton. Misalnya dari data tahun 2005 di Bali menyebutkan ada sekitar 1.008.000 sepeda motor. Jika diasumsikan satu sepeda motor menghabiskan empat liter bensin sehari, berarti 4.032.000 liter terbuang. Jika pembakaran satu liter bensin menghasilkan 2,4 kg CO2, emisi yang dihasilkan mencapai 9.676.800 kg CO2. Emisi ini belum termasuk mobil, pesawat terbang, kapal feri, penggunaan energi untuk industri serta pembangkit listrik. Ini hanya terjadi di Bali saja, belum Indonesia dan internasional.
Sebagai aktivis di bidang lingkungan, apa yang akan Anda suarakan kepada delegasi kita di konferensi tersebut?
Kita menyerukan Nyepi For The Earth (Hening Untuk Bumi). Hening adalah kontribusi paling nyata pada pengurangan emisi gas rumah kaca yang bersifat adil untuk dilakukan oleh semua orang karena mudah dilaksanakan dan murah biaya bahkan tidak memakan biaya. Selain itu, kita mendesak Bali Road Map untuk mengurangi emisi gas rumah kaca melalui berbagai mekanisme hukum dan teknis terutama untuk pasca 2012. kearifan lokal sering dikesampingkan dalam proses perundingan tersebut. Padahal melalui Nyepi, masyarakat Bali telah berkontribusi dalam mengurangi efek gas rumah kaca tanpa konvensi dan protokol apapun. Jika masyarakat Bali bisa, kenapa masyarakat dunia tidak?
Bagaimana dengan nasib masyarakat Indonesia yang sebagian besar ada di pedalaman hutan dan pesisir?
Memang sebagian besar penduduk Indonesia bermukim di pedalaman hutan dan pesisir pantai. Merekalah yang akan menerima dampak terbesar dari perubahan iklim dunia tersebut. Bumi yang makin memanas membuat es di kutub meleleh dan volume air laut makin meninggi. Masyarakat pesisir akan tenggelam dan miskin. Begitu juga dengan masyarakat di hutan. Jika mereka makin marak menebang hutan sembarangan, bencana alam pun akan menimpa mereka. Hal ini yang membuat kami ingin membangun solidaritas bersama masyarakat Indonesia dan internasional untuk bahu-membahu melakukan sesuatu untuk bumi. Rakyat termasuk masyarakat adat yang selama ini haknya masih terpinggirkan harus diberikan kepercayaan kembali memegang kendali tanah-tanah mereka bukan pada Negara Anex 1 (negara maju penyumbang emitor terbesar di dunia). Kami menuntut keadilan atas perubahan iklim ini.
Maksudnya?
Rakyat harus diberi ruang untuk melakukan kearifan lokal yang selama ini mereka jalankan. Upaya untuk menjaga keberlanjutan alam dan lingkungan sudah menjadi bagian dari praktek kehidupan masyarakat lokal setempat di berbagai belahan bumi. Misalnya masyarakat Bali yang telah menjalankan ritual Nyepi. Menurut kepercayaan masyarakat umat Hindu Bali, mereka melakukan empat pantangan dalam ritual tersebut yaitu tidak bekerja (amati karya), tidak menyalakan api atau menyalakan sesuatu (amati geni), tidak bepergian (amati lelungaan) dan tidak menghibur diri (amati lelanguan). Dengan adanya catur barata (empat pantangan) tersebut, manusia tidak mengotori udara dengan gas-gas buangan hasil pembakaran (gas emisi rumah kaca).
Berapa jumlah emisi yang dihemat saat Nyepi?
Diperkirakan saat Nyepi, emisi berkurang sekitar 20 ribu ton. Misalnya dari data tahun 2005 di Bali menyebutkan ada sekitar 1.008.000 sepeda motor. Jika diasumsikan satu sepeda motor menghabiskan empat liter bensin sehari, berarti 4.032.000 liter terbuang. Jika pembakaran satu liter bensin menghasilkan 2,4 kg CO2, emisi yang dihasilkan mencapai 9.676.800 kg CO2. Emisi ini belum termasuk mobil, pesawat terbang, kapal feri, penggunaan energi untuk industri serta pembangkit listrik. Ini hanya terjadi di Bali saja, belum Indonesia dan internasional.
Sebagai aktivis di bidang lingkungan, apa yang akan Anda suarakan kepada delegasi kita di konferensi tersebut?
Kita menyerukan Nyepi For The Earth (Hening Untuk Bumi). Hening adalah kontribusi paling nyata pada pengurangan emisi gas rumah kaca yang bersifat adil untuk dilakukan oleh semua orang karena mudah dilaksanakan dan murah biaya bahkan tidak memakan biaya. Selain itu, kita mendesak Bali Road Map untuk mengurangi emisi gas rumah kaca melalui berbagai mekanisme hukum dan teknis terutama untuk pasca 2012. kearifan lokal sering dikesampingkan dalam proses perundingan tersebut. Padahal melalui Nyepi, masyarakat Bali telah berkontribusi dalam mengurangi efek gas rumah kaca tanpa konvensi dan protokol apapun. Jika masyarakat Bali bisa, kenapa masyarakat dunia tidak?
(Pewawancar: Didik Purwanto)
BIODATA
Nama : Nyoman Sri Widhiyanti,SH
Tempat/tanggal lahir : Cimahi, 19 Mei 1976
Pendidikan : S1 Fakultas Hukum Universitas Udayana
Pengalaman organisasi :
Presidium Forum Persatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (1999-2001)
Direktur Eksekutif Walhi Bali (2002-2007)
Alamat : Jl. Tukad Tegalwangi IX/8 Sesetan Denpasar Telp. 081 8551297
BIODATA
Nama : Nyoman Sri Widhiyanti,SH
Tempat/tanggal lahir : Cimahi, 19 Mei 1976
Pendidikan : S1 Fakultas Hukum Universitas Udayana
Pengalaman organisasi :
Presidium Forum Persatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (1999-2001)
Direktur Eksekutif Walhi Bali (2002-2007)
Alamat : Jl. Tukad Tegalwangi IX/8 Sesetan Denpasar Telp. 081 8551297